BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kajian stilistika termasuk dalam studi linguistik modern, kajiannya
meliputi hampir semua fenomena kebahasaan, hingga pembahasaan tentang makna. Ia
mengkaji lafal baik secara terpisah ataupun tatkala digabungkan ke dalam
struktur kalimat. (Syukri Muhammad ‘ayyad, 1982, hal 48).[1]
Menurut Panuti sudjirman studi stilistika pun mengkaji para
sastrawan memanfaatkan unsur kaidah dalam bahasa dan efek apa yang akan ditimbulkan
oleh penggunaanya, mengkaji ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra dan
meneliti deviasi terhadap tata bahasa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Stilistika
Secara harfiyah, stlistika berasal dari bahasa
Inggris: stylistics, yang berarti studi mengenai style ‘gaya
bahasa’ atau ‘bahasa bergaya’. Adapun secara istilah, stilistika (stilistics)
adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya
sastra (Abrams, 1979: 165-167; bandingkan Satoto, 1995: 36). Dapat dikatakan
bahwa stilistika adalah proses menganalisis karya sastra dengan mengkaji
unsur-unsur bahasa sebagai medium karya sastra yang digunakan sastrawan
sehingga terlihat bagaimana perlakuan sastrawan terhadap bahasa dalam rangka
menuangkan gagasannya (subject matter).
Stilistika sebagai ilmu yang mengkaji
penggunaan bahasa dalam karya sastra yang berorientasi linguistik atau
menggunakan parameter linguistik dapat dilihat pada batasan stilistika berikut.
·
stilistika merupakan bagian linguistik yang menitikberatkan
kepada variasi penggunaan bahasa dan kadangkala memberikan perhatian kepada
penggunaan bahasa yang kompleks dalam karya sastra (Turner, 1977: 7). Atau,
pendekatan linguistik yang digunakan dalam studi teks-teks sastra (Short, 1989:
183).
·
stilistika dapat dikatakan sebagai studi yang
menghubungkan antara bentuk linguistik dengan fungsi sastra (Leech dan Short,
1984: 4).
·
stilistika adalah ilmu kajian gaya yang
digunakan untuk menganalisis karya sastra (Keris Mas, 1990: 3).
·
stilistika mengkaji wacana sastra dengan
berorientasi linguistik dan merupakan pertalian antara linguistik dan kritik
sastra.
B.
Objek Kajian Stilistika
Stilistika
mengkaji seluruh fenomena bahasa mulai dari fonologi [bunyi bahasa] hingga
semantic [makna dan arti bahasa] (Syukri Muhammd ‘Ayyad, 1982, hal. 48). Agar
ranah kajian tidak terlalu luas, kajian stilistika biasanya dibatasi pada suatu
teks tertentu, dengan memperhatikan preferensi penggunaan kata atau struktur
bahasa, mengamati antar hubungan-hubungan pilihan itu untuk mengidentifikasi
ciri-ciri stilistik [stylistic features] seperti; sintaksis [tope
struktur kalimat], leksikal [diksi, penggunaan kelas kata tertentu], retoris
atau diviasi [penyimpangan dari kaidah umum tata bahasa] (Panuti Sudjiman,
1003, hal. 14).[2]
Dengan
demikian ranah kajian stilistika meliputi:
a.
Fonologi
b.
Preferensi
lafal
c.
Preferensi
kalimat
d.
Deviasi
C.
Fonologi dan Efek yang Ditimbulkan
Fonologi adalah bidang linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi
bahasa menurut fungsinya. (Harimukti Kridalaksana, 1983, hal 45). Bunyi-bunyi
bahasa pada dasarnya terbagi dua, konsonan dan vokal. Konsonan adalah bunyi
bahasa yang dihasilkan dengan menghambat aliran udara pada salah satu tempat
saluran suara di atas glotis (misalnya : b, c, dan d). Vokal adalah bunyi bahasa
yang dihasilkan dengan getaran pita suara dan tanpa penyempitan dalam saluran
suara di atas glotis (misalnya : a, i, u, e, o). (Harimukti Kridalaksana, 1983,
hal 91, 177).[3]
Penelitian terhadap hubungan fonologi dengan efek yang ditimbulkan
telah lama dilakukan para ulama, antara lain oleh al-Khalil bin Ahmad, sibawaih
dan abul fatah usman bin juny. (Mahmud Ahmad Najlah, 1981, hal 332-334).[4] Efek
tersebut terbagi dua pertama efek fonologi terhadap keserasian. Kedua efek
fonologi terhadap makna:
a. Efek Fonologi Terhadap Keserasian
Pemilihan huruf
dalam al-Qur’an dan penggabungan antara kosongan dengan vokal sangat serasi
sekali, sehingga memudahkan dalam pengucapan.
Yang dimaksud
dengan dengan keserasian dalam tata bunyi al-Qur’an adalah keserasian dalam
pengaturan harakah (tanda baca yang menimbulkan bunyi a,i,u) sukun (tanda baca “mati“) madd (tanda baca yang
menimbulkan bunyi panjang), dan gunnah (nasal) sehingga enak untuk didengar dan
diresapkan. (Muhammad ‘Abdul ‘Adim az-Zarqoni, tanpa tahun, hal 205), tatkala kita mendengarkan al-Qur’an surah dan
ayat mana saja, yang dibaca dengan baik dan benar. Akan terdengar irama, nada
musik mengalun yang sangat mengagumkan, huruf-huruf menyatu, sehingga sulit
untuk dipilah-pilah satu sama lainnya.
Keserasian bunyi
pada akhir ayat melebihi purwakanti yang beragam, sehingga tidak menjenuhkan.
Misalnya pada ayat-ayat itu terdapat bunyi vokal “a“ namun diiringi oleh
konsonan yang bervariasi, sehingga menimbulkan hembusan suara yang berbeda,
yaitu: ba, da, ta, dan qa.
Dalam surah lain kesamaan bunyi akhir terkadang diselingi oleh
bunyi vokal lain, seolah-olah ada deviasi dari irama yang ada.
Konsonan yang menyertai
vokal pun beragam, sehingga menimbulkan bunyi tin, din,’un, rin lin, sun dan
seterusnya, sehingga tidak menimbulkan kebosanan, karena irama yang ditimbulkan
datang silih berganti.[5]
b.
Efek Fonologi Terhadap Makna
Bahasa terdiri
dari atas lambing-lambang, yaitu tanda-tanda yang digunakan untuk menyatakan
sesuatu yang lain. Di dalam bahasa, tanda terdiri atas rangkaian bunyi yang
pada ragam tulis dialihkan ke dalam tanda-tanda visual, yaitu huruf dan tanda
baca. Hubungan antara rangkaian bunyi tertentu dan makna yang dinyatakan
bersifat arbiter semata, tidak ada hubungan yang wajar antara lambang dan objek
yang dilambangkannya (Panuti Sudjiman, 1993hal. 9). Namun demikian jika ada
bunyi lafal yang menyerupai atau menunjuk kepada makna yang dikandung, maka makna
ini dianggap lebih kuat (Mahmud Ahmad Najlah, 1981, hal. 335).[6]
Abu-Fatah ‘Usman
bin Juniy telah mengadakan penelitian terhadap kasus ini. Dia mengatakan bahwa
masdar ruba’I mudo’af [infinitif berhuruf empat yang mendapat mengulangan bunyi]
mengandung arti pengulangan, seperti lafal: za’ za’ ah, qalqalah, solsolah, dan
qarqarah mengandung arti goncangan, keributan, bunyi berderik-derik, bunyi
gemerincing, bising dan keroncongan [perut].
Selanjutnya
dinyatakan bahwa pengulangan ‘ain fi’il [huruf kedua kata kerja] menunjuk kepada
makna pengulangan, seperti: kassra, qatta’a, fattaha, dan gallaqa, mengandung
arti memecah-mecah, memotong-motong, membukabuka, menutup-nutup (Mahmud Ahmad
Nadjlah, hal. 335).[7]
Karakteristik
bunyi huruf dan kaitannya dengan makna dalam Al-Qur’an menjadi kajian Mahnud
Ahmad Najlah dalam bukunya Luqah al-Qur’ân al-Karim fil Juz ‘ Amma. Ia mengkaji
huruf sin pada surah an-Nas (114) terutama pada ayat 5 dan 6. Huruf sin
termasuk jenis konsonan frikatif. Manusia tidak bisa mengucapkannya dengan
mulut terbuka, namun harus dengan menempelkan gigi atas dengan gigi bawah pada
ujung lidah. Bunyi seperti ini secara khusus dipilih untuk memberikan kesan
bisikan para pelaku kejahatan dan tipuan, sebagaimana dilakukan oleh Syaitan
terhadap manusia agar mereka mau melakukan perbuatan ma’siat. Demikian pula
huruf sad dan fa, kedua huruf ini juga termasuk konsonan frikatif, dan memiliki
karakteristik yang mirip dengan huruf sin.
Selanjutnya ia
meneliti huruf ra dan fa terutama dalam surah an-Nazi’at [79:6-14]. Pengulangan
huruf ra dengan pengucapan yang cepat menggambarkan getaran yang ditimbulkan
(dalam konteks ini) bumi dan langit, apalagi ditopang oleh bunyi fad dan jim
yang didahalui vocal panjang, sehingga menggambarkan pengulangan ra yang
terus-menerus, kemudian nafas dan udara pun berhenti tatkala mengucapkan huruf
jim, lalu dibuka kembali untuk mengucapkan huruf fa (Mahmud Ahmad Najlah, 1981,
hal.347-348). Maka sempurnalah gambaran getaran bumi dan hati yang diikuti rasa
takut yang mencekam.
Keserasian huruf
sangat membantu keserasian kata, selanjutnya keserasian kalimat secara
keseluruhan. Dalam hal ini irama yang dipantulkan al-Quran terkadang terkesan
pelan dan terkadang sedang atau cepat. Irama lambat biasanya berisi pelajaran
atau wejangan dan irama cepat biasanya berisikan gambaran siksaan. Perhatikan
misalnya surah al-Haqqah [69:1-12]. Bunyi lafal al-haqqah dan al-Qariah
terkesan lambat. Ayat ini mengandung makna pelajaran atau peringatan tentang
hari kiamat. Namun pada ayat-ayat selanjutnya yang menerangkan siksaan atas
kaum Tsamud dan ‘Ad iramanya terasa cepat dan menghentak-hentak.
Itu semua
merupakan usaha pendekatan dari aspek fonologi untuk menjawab pertanyaan kenapa
al-Quran menarik untuk dibaca? Hal tersebut merupakan hasil penerungan yang
dikaitkan dengan perasaan. Oleh karenanya sudah barang tentu masih terbuka
untuk diperdebatkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fonologi adalah bidang linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi
bahasa menurut fungsinya. (Harimukti Kridalaksana, 1983, hal 45). Bunyi-bunyi
bahasa pada dasarnya terbagi dua, konsonan dan vokal. Konsonan adalah bunyi
bahasa yang dihasilkan dengan menghambat aliran udara pada salah satu tempat
saluran suara di atas glotis (misalnya : b, c, dan d). Vokal adalah bunyi
bahasa yang dihasilkan dengan getaran pita suara dan tanpa penyempitan dalam
saluran suara di atas glotis (misalnya : a, i, u, e, o) .(Harimukti
Kridalaksana, 1983, hal 91, 177).
Dan lafal-lafal dalam
al-Quran jika ditelusuri dan diteliti secara mendalam akan memunculkan
ilmu-ilmu baru yang sebelumnya tidak terbayangkan. Apabila ilmu-ilmu tersebut
dihimpun tentunya akan merupakan referensi yang sangat mengagungkan, sehingga
nantinya al-Quran bukan hanya sumber hukum fiqh dan aqidah tetapi juga sumber
bidang kebahasaan.
[2] Sudjiman, Panuti, 1993, Bunga Rampai Stilistika, (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti), hlm. 14
[3] Krisdalaksana, Harimukti, 1983, Kamus
Linguistik, (Jakarta: PT. Gramedia), hlm. 91
[4]
Najlah, Mahmud Ahmad, 1981, Lughah Qur’an Fil Juz Amma, (Beirut: Darun
Nahdhoh Al-Arabiyyah), hlm. 332-334
[5] Syihabuddin Qalyubi, Stilistika Al-Qur’an
Pengantar Orientasi Studi Al-Qur’an, 1997, (Yogyakarta: Titian Illahi
Press), hlm.
[6] Najlah, Mahmud Ahmad, 1981, Lughah
Qur’an Fil Juz Amma, (Beirut: Darun Nahdhoh Al-Arabiyyah), hlm. 335
[7] Ibid.,
hlm. 335
Tidak ada komentar:
Posting Komentar