Hamzah nur asalnya Fansuri
mendapat wujud dari syahru nawi
beroleh khilafat yang 'ali
dari pada abdul qadir sayyid zailani.
Syair di atas yang menguatkan asal tempat kelahiran beliau yang tak di
ketahui oleh para peneliti sejarah. Mengenai tanggal kelahirannya di
setiap buku yang kami jadikan Referensi, tak menyebutkan tanggal tahun
lahir beliau. tetapi dari syair beliau menunjukkan beliau berasal dari
fansuri. Dari sebuah buku, beliau diperkirakan hidup sebelum tahun
1630. selama hidup dan dalam pengembaraan intelektualnya, beliau pernah
ke india, persia (iran), mekkah dan madinah. Dalam pengembaraanya itu
ia sempat mempelajariilmu fiqih, tauhid, tasawuf, sejarah dan sastra
arab. Selesai menjalani pengembarannya beliau kembali ke kampung
halamannya untuk mengajarkan ilmunya di dayah (pesantren) oboh Rundeng,
Subulussalam (sekarang). Hamzah fansuri sangat giat mengajarkan ilmu
tasawuf sesuai paham yang di yakininya, ada riwayat yang mengatatakan
bahwa ia pernah sampai ke semenanjung melayu dan mengembangkan tasawuf
di negeri perak, perlis, kelantan, terengganu, dan lain-lain, dan
pengaruh beliau juga di dalam negeri sampai ke buton sulawesi tenggara,
lewat dua karyanya, Asrar al-arifin dan syarb al-asyiqin.
Orang banyak menentang Al-fansuri karena paham alir an widhatul wujud,
hulul dan ittihadnya, Salah satunya ialah nuruddin ar-raniry dalam buku
ruba’i hamzah fansury. menurut yang dituduhkannya bahwa manusia sama
dengan allah, Karenanya banyak orang mengecap beliau zindik, sesat,
kafir dan sebagainya. dalam bidang tasawuf ia mengikuti tarekat
qadiriyah. Pemikiran al-fansuri tentang tasawuf di pengaruhi oleh ibn
Arabi dalam paham wahdatul wujudnya. Sebagai seorang sufi ia mengajarkan
tasawuf bahwa tuhan lebih dekat dari pada leher manusia sendiri dan
bahwa tuhan tidak bertempat sekalipun sering di katakan ia dimana-mana.
Ajaran-ajaran hamzah fansuri sebagai berikut:
wujud, menurut beliau hanyalah satu walaupun kelihatannya banyak. Dan
wujud yang satu itu adalah yang berkulit dan berisi, Atau mazhar
(kenyataan lahir). Wujud mempunyai tujuh martabat namun hakikatnya satu.
Semua benda yang ada sebenarnya merupakan manifestasi dari yang hakiki,
disebut al-haqq ta'ala. Ia menggambarkan wujud tuhan bagaikan lautan
yang tak bergerak,sedangkan wujud alam semesta merupakan gelombang
lautan wujud tuhan. Pengaliran dari dzat yang mutlakini diumpamakan
gerak ombak yang menimbulkan uap, asap, ombak, dan awan yang kemudian
menjadidunia gejala. Itulah yang di ebut ta'ayyun dari dzat yang la
ta'ayyun. Ittupulalah yang di sebut tanazul. Kemudian segala sesuatu
kembali lagi kepada tuhan (tarqqi), yang di gambarkan bagaikan uap,
asap, awan, lalu hujan dan sungai dan kembali lagi kehutan. Pengembaraan
pernah yang dilakukan beliau berupa zasad dan rohani diungkapkan dengan
syair.
Hamzah fansuri di dalam mekah,
Mencari tuhan di baitul Kaabah
di Barus kekudus terlalu payah
Akhirnya dapat di dalam rumah
syair beliau yang lain adalah:
Hamzah gharib,
akan rumahnya Baitul Ma'mur,
Kursinya sekalian Kafuri
di negeri Fansur minal 'asyjari
Syair Al-fansuri di atas merupakan hanya sindiran terhadap yang pernah
di ucapkan Oleh abi yazid al-bisthami yang mengatakan tuhan dalam
jubbahnya.
2. Syamsuddin As – Sumatrani
Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah yang
aksentuasi keislamannya paling menonjol. Selain menonjolnya warna
keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi
Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal Samsuddin
Sumatrani.
Syamsuddin Sumatrani adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah
turut mengguratkan corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya
perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh.
Hal ini selain karena tidak ditemukannya catatan otobiografisnya, juga
karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.
Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah
mengadakan penelitian untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan
langkanya sumber-sumber mengenai tokoh sufi yang satu ini. Diantara
sumber tua yang dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin Sumatrani
adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salathin. Itupun
tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci. Meski demikian, dari
serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu kiranya cukuplah bagi
kita untuk sekedar memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut spektrum
pemikirannya.
Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia
lahir. Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang
namanya, itu merupakan penisbahan dirinya kepada “negeri Sumatra” alias
Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan Sumatra ini tempo doeloe pernah
berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah
sebabnya ia juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai.
Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani
ataupun Pasai mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan
pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka
bisa diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika
pun ia tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama
terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai bahkan ia
meninggal dan dikuburkan di sana.
Berbicara tentang peranan Sumatra sebagai pusat pengajaran dan
pengembangan Islam, Negeri Pasai itu memang lebih dahulu terkemuka
daripada Banda Aceh. Paling tidak Samudera Pasai lebih dulu terkemuka
pada kisaran abad ke-14 dan 15 M, yakni sebelum akhirnya Pasai dikuasai
oleh Portugis pada tahun 1514. Sementara beralihnya tampuk kekuasaan
Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh Darussalam baru berlangsung pada tahun
1524.
Peranan dan Pengaruhnya
Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani
sudah menjadi orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan
al-Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin
Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam
lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa.
Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa
dasawarsa terakhir dari masa hidupnya ia merupakan tokoh agama
terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan
bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.
Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat ulama yang paling terkemuka.
Ia berpengaruh serta berperan besar dalam sejarah pembentukan dan
pengembangan intelektualitas keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7
dan beberapa dasawarsa sebelumnya. Keempat ulama tersebut adalah Hamzah
Fansuri (?-?), Syamsuddin Sumatrani (?-1630), Nuruddin Raniri (?-1658),
dan Abdur Rauf Singkel (1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya hubungan
antara Syamsuddin Sumatrani dengan ketiga ulama lainnya, ada baiknya
disinggung seperlunya.
Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan
A. Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari
Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya
tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap
pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu
adalah Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui
secara pasti. Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin
Sumatrani wafat, Raniri memperoleh kedudukan seperti sebelumnya
diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh
Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya
yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin
Sumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani
dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan
literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis. Namun demikian,
para pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak punah semuanya.
Pada kisaran tahun 1644 Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku
mufti kerajaan Aceh Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir,
Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin
(1641-1675) kemudian mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Saifur
Rijal. Saifur Rijal adalah seorang Minang yang juga penganut paham
wahdatul wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali ke Aceh dari
pendalaman kajian agama di India. Dengan demikian, paham tasawuf
Syamsuddin Sumatrani itu kembali mewarnai corak keislaman di Kerajaan
Aceh Darussalam.
Karya-karyanya
Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah
karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari
karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin
Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu
sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara
karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:
Jawhar al-Haqa'iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang
paling lengkap yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini
menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan.
Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah
(8 balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van
Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena
mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang
mulhid dengan yang bukan mulhid.
Mir’at al-Mu'minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini
menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya,
kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi
pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan
dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah (tepatnya Asy'ariah-Sanusiah).
Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini
merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri.
Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat
al-wujud).
Syarah Sya'ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini
merupakan ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya'ir Hamzah Fansuri yang
mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana' di dalam Allah.
Nur al-Daqa'iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu).
Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953)
mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).
Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung
penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, 'adam, haqq, bathil,
wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya.
Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu).
Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.
Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang
berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat
tujuh.
Ajaran Tasawufnya
Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham
wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud
Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan
diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah
menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham
wahdatul wujud.
Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274)
adalah orang pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja
al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang
independen. Selain al-Qunawi, masih banyak lagi yang menggunakan istilah
wahdatul wujud. Namun tokoh yang paling besar peranannya dalam
mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn Taymiyyah
(w. 728/1328). Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para
pengikutnya.
Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut
adalah Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran Syamsuddin Sumatrani tentang
Tuhan dengan corak paham wahdatul wujud dapat dikenal dari
pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid la ilaha illallah, yang
secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa
kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh jalan tasawuf) tingkat
pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada ma’bud
(yang disembah) kecuali Allah.
Sementara bagi salik yang sudah berada pada tingkat menengah
(al-mutawassith), kalimat tauhid tersebut dipahami dengan pengertian
bahwa tidak ada maksud (yang dikehendaki) kecuali Allah. Adapun bagi
salik yang sudah berada pada tingkat penghabisan (al-muntaha), kalimat
tauhid tersebut difahami dengan pengertian bahwa tidak ada wujud kecuali
Allah.
Namun ia mengingatkan bahwa terdapat perbedaan prinsipil antara
pemahaman wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang benar
(al-muwahhidin al-shiddiqin), dengan paham wahdatul wujud dari kaum
zindiq penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi, kedua pihak itu
memang nampak sependapat dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha
illallah, yakni tiada wujud selain Allah, sedang wujud segenap alam
adalah bersifat bayang-bayang atau majazi. Tetapi sebenarnya kedua belah
pihak memiliki perbedaan pemahaman yang sangat prinsipil. Bagi kaum
panteisme yang zindiq alias sesat, mereka memahaminya bahwa wujud Tuhan
itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Jadi bagi kalangan
panteis ini, segenap wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan
adalah wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari segi penampakannya).
Jadi para penganut paham panteisme itu mengidentikkan Tuhan dengan alam.
Mereka menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa
membedakan antara martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian
menurut Syamsuddin Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak oleh
para penganut tauhid yang benar.
Bagi Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, asdalah Keesaan
Wujud berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali
Tuhan. Sementara alam atau segala sesuatu selain Tuhan keberadaannya
adalah karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari
segi keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum);
tetapi jika dilihat dari segi “keberadaannya karena wujud Tuhan” maka
jelaslah bahwa alam itu ada (maujud).
Dengan demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal
ini diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud
dengan tujuh martabatnya. Tulisnya:
I’lam, ketahui olehmu bahwa (se)sungguhnya martabat wujud Allah itu
tujuh martabat; pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah,
ketiga martabat wahidiyyah, keempat martabat alam arwah, kelima martabat
alam mitsal, keenam martabt alam ajsam dan ketujuh martabat alam insan.
Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala, martabat Dzat Allah Ta’ala
dan wahdah itu bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan
wahidiyyah bernama (hakikat) insan dan Adam ‘alaihi al-Salam dan kita
sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta’ala, maka alam arwah martabat
(hakikat) segala nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat) segala rupa,
maka alam ajsam itu martabat (hakikat) segala tubuh, maka alam insan
itu martabat (hakikat) segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah, wahdah
dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta’ala, maka alam arwah, alam mitsal
alam ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat al-makhluk.
Atas uraian Syamsuddin Sumatrani tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan
memberikan ulasan: terhadap tiga martabat pertama yang disebutnya dengan
‘anniyyat Allah, maksudnya adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang
terhadap empat martabat berikutnya yang disebut martabat anniyyat
al-makhluk, maka yang dimaksudkannya adalah wujud aktual makhluk.
Dengan demikian, tiga martabat pertama adalah qadim (dahulu tanpa
permulaan) dan baqa (kekal tanpa kesudahan); Sedang empat martabat
berikutnya disebut muhdats (yang dijadikan/diciptakan). Karena itu pula
istilah ‘alam tidak digunakan untuk tiga martabat pertama, tapi jelas
dipergunakan untuk empat martabat berikutnya. Dari semua itu dapatlah
dipahami bahwa martabat ketuhanan itu tidak lain dari tiga martabat
pertama, sedang martabat alam atau makhluk mengacu pada empat martabat
berikutnya. Wallahu A’lam.
3. Nuruddin Ar – Raniry
Nama lengkapnya nur al-din muhammad ibn ali ibn hasanji ibn muhammad
al-raniry. Berasal dari gujarat India tahun kelahirannya sampi sekarang ,
belum dapat diketahui. Ia adalah syekh tarekat rifa’iyyah yang
didirikan oleh ahmad rifa’i. Beliau juga di katakan penerus tasawuf
sunni.6 (damanhuri basyr, ilmu taswuf, hal 210). Ia merantau ke aceh 31
mei 1637/6 muharram 1047 H. Pada masa kerajaansutan iskandar tsani, ia
mengikuti jejak pamannya syekh muahammad jailani yang juga merantau.pada
saat itu ia berada di aceh utk kedua kalinya, karena saat masa kerajaan
sultan iskandar muda ia tak mendapatkan tempat atau perhatian dari
sultan yang berkuasa.
Pemikiran-pemikiran nuruddin ar-raniry yang di tunjukkan kepada tokoh
dan penganut wujudiyah, maupun pemikirannya secara umum dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
- Pertama, tentang Tuhan, masalah ketuhanan bersipatt kompromis.7 (m.
Solihin, melacak pemikiran tasawuf di nusantra, hal 57). Ia berupaya
menyatukan paham mutakallimin dengan paham para sufi yang di wakii ibn
arabi. Ia berpendapat bahwa wujud allah dan alam esa berarti bahwa alam
merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin, yaitu allah.namun
ungkapan itu pda hakikatnya bahwa alam tidak ada yang ada hanyalah wujud
allah.
- Kedua, tentang alam. Menurutnya alam ini diciptakan allah melalui tajlli, ia menolakteori,faidh ( emanasi) al-farabi.
- Ketiga, tentang manusia, merupakan makhluk yyang paling sempurna di
dunia ini. Sebab manusia merupakan khalifah allah dibumi yang dijadikan
sesai dengan citranya. Dan mazhur (tempat kenyataan asma dan sifat
allahpaling lengkap dan menyeluruh)
- Keempat, tentang wujudiyyah. Inti ajaran wujudiyyah Berpusat pada
wahdat al-wujud yang salah diartikan,kaum wujudiyyah, dengan arti
kemanunggalan allah dengan alam. dapat membawa kekafiran. Ia
berpandangan bawa jika benar than dan makhluk hakikatnya satu, maka
jadilah makhluk itu addalah tuhan.
- Kelima, tentang hubungn syarit dan hakikat. Pemisahan antara keduanya merupakan sesuatu yang tidak benar.
Selain itu ia juga menekankan kepada umat islam agar memahami secara benar akidah islamiyah.
4. Abdul Rawf As – Singkil
Nama lengkap beliau adalah abdul rauf al-jwi alfansuri al-singkil.tahun
kelahirannya tidak di ketahi pasti ada yang menyebutkan tahun
kelahirannya 1024 H/1615 M.8 ( murodi, sejarah kebudayaan islam, hal
268). Ia menerima bai’at tarekat syathariyyah. Abdurrauf adalah ulama
yang berupaya mendamaikanajaran martabat alam tujuh yang dikenal di aceh
sebgai paham wahdatul wujud/wujudiyyah (pantheisme) dengan paham
sunnah.
Pemikiran tasawuf as-singkili dapat dilihat antara lain pada persoalan
merekonsiliasi antara taswuf dan syariat. Ajaran tasawufnya mirif dengan
tasawuf hamzah fansuri dengan ar-raniry yaitu menganut paham
satu-satunya wujud hakiki yakni allah. Sedangakan alam ciptaanya
bukanwujud hakiki tetapi bayangan dari hakiki. Menurutnya jelaslah alam
berbeda dengan allah. Beliau juga mempunyai pemikiran tentang zikir,
zikir menurut pandngannya usaha melepaskn diri dari lalai dan lupa.
Ajaran tasawuf as-singkili yang lainbertalian dengan martabat
perwujudan.menurutnya ada tiga martabat perwujudan. Pertama, ahadiyah
atau la ta’ayyun waktu itumasih merupakan hakikat yang ghaib.
Kedua,martabat wahdah atau ta’ayun awwal. Sudah tercifta hakikat
muhammadiyyah sangat potensial bagi terciptanya alam. Ketiga,martabat
wahdiyyah atau ta’ayyun tsanidisebut juga a’ayan al-tsabilah dan
darisinilah alam tercipta.
5. Abdus Samad Al – Palimbani
Syeikh Abdul Samad Al-Falembani dilahirkan pada 1116 H/1704 M, di
Palembang. Tentang nama lengkap Syeikh Al-Falimbani, setakat yang
tercatat dalam sejarah, ada tiga versi nama. Yang pertama, seperti yang
diungkapkan dalam Ensiklopedia Islam, beliau bernama Abdus Samad Al-Jawi
Al-Falembani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu,
sebagaimana ditulis oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994),
ulama besar ini memiliki nama asli Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi
Al-Falembani. Sementara versi terakhir, tulisan Rektor UIN Jakarta itu,
bahawa apabila merujuk pada sumber-sumber Arab, nama lengkap Syeikh
Al-Falembani ialah Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi.
Daripada ketiga-tiga nama itu yang diyakini sebagai nama Abdul Samad,
Azyumardi berpendapat bahawa nama terakhirlah yang disebut Syeikh Abdul
Samad.
Percanggahan pendapat mengenai nama ulama ini dapat difahami
memandangkan sejarah panjangnya sebagai pengembara, baik di dalam negeri
mahupun luar negeri, dalam menuntut ilmu. Apabila dilihat latar
belakangnya, ketokohan Al-Falembani sebenarnya tidak jauh berbeza
daripada ulama-ulama Nusantara lainnya, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin
Al-Raniri, Abdul rauf Singkel, Yusuf Al-Maqassari.
Dari segi salasilah, nasab Syeikh Al-Falembani berketurunan Arab, iaitu
dari sebelah ayah. Syeikh Abdul Jalil bin Syeikh Abdul Wahhab bin Syeikh
Ahmad Al-Mahdani, ayah Al-Falembani, adalah ulama yang berasal dari
Yaman yang dilantikmenjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18.
Sementara ibunya, Radin Ranti, adalah wanita Palembang yang
diperisterikan oleh Syeikh Abdul Jalil, setelah sebelumnya menikahi Wan
Zainab, puteri Dato´ Sri Maharaja Dewa di Kedah.
Pendidikan
Syeikh Abdus Shamad mendapat pendidikan asas dari ayahnya sendiri,
Syeikh Abdul Jalil, di Kedah. Kemudian Syeikh Abdul Jalil mengantar
semua anaknya ke pondok di negeri Patani. Zaman itu memang di Patani lah
tempat menempa ilmu-ilmu keislaman sistem pondok secara yang lebih
mendalam lagi.
Mungkin Abdus Shamad dan saudara-saudaranya Wan Abdullah dan Wan Abdul
Qadir telah memasuki pondok-pondok yang terkenal, antaranya ialah Pondok
Bendang Gucil di Kerisik, atau Pondok Kuala Bekah atau Pondok Semala
yang semuanya terletak di Patani.
Di antara para gurunya di Patani, yang dapat diketahui dengan jelas
hanyalah Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok. Demikianlah yang
diceritakan oleh beberapa orang tokoh terkemuka Kampung Pauh Bok itu
(1989), serta sedikit catatan dalam salah satu manuskrip terjemahan
Al-‘Urwatul Wutsqa, versi Syeikh Abdus Shamad bin Qunbul al-Fathani yang
ada dalam simpanan penulis. Kepada Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok itulah
sehingga membolehkan pelajaran Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani
dilanjutkan ke Mekah dan Madinah. Walau bagaimana pun mengenai Syeikh
Abdus Shamad al-Falimbani belajar kepada Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok
al-Fathani itu belum pernah ditulis oleh siapa pun, namun sumber asli
didengar di Kampung Pauh Bok sendiri.
Sistem pengajian pondok di Patani pada zaman itu sangat terikat dengan
hafalan matan ilmu-ilmu Arabiyah yang terkenal dengan ‘llmu Alat Dua
Belas’. Dalam bidang syariat Islam dimulai dengan matan-matan fiqh
menurut Mazhab Imam Syafie. Di bidang tauhid dimulai dengan menghafal
matan-matan ilmu kalam/usuluddin menurut faham Ahlus Sunah wal Jamaah
yang bersumber dari Imam Syeikh Abul Hasan al-Asy’ari dan Syeikh Abu
Mansur al-Maturidi.
Beliau juga mempelajari ilmu sufi daripada Syeikh Muhammad bin Samman,
selain mendalami kitab-kitab tasawuf daripada Syeikh Abdul Rauf Singkel
dan Samsuddin Al-Sumaterani, kedua-duanya dari Acheh. Oleh sebab dari
sedari kecil beliau lebih banyak mempelajari ilmu tasawuf, maka dalam
sejarah telah tercatat bahawa beliau adalah ulama yang memiliki
kepakaran dan keistimewaan dalam cabang ilmu tersebut.
Setelah Syeikh Abdus Shamad banyak hafal matan lalu dilanjutkan pula
dengan penerapan pengertian yang lebih mendalam lagi. Sewaktu masih di
Patani lagi, Syeikh Abdus Shamad telah dipandang alim, kerana beliau
adalah sebagai kepala thalaah (tutor), menurut istilah pengajian pondok.
Namun ayahnya berusaha mengantar anak-anaknya melanjutkan pelajarannya
ke Makkah. Memang merupakan satu tradisi pada zaman itu walau bagaimana
banyak ilmu pengetahuan seseorang belumlah di pandang memadai, jika tak
sempat mengambil barakah di Mekah dan Madinah kepada para ulama yang
dipandang Wali Allah di tempat pertama lahirnya agama Islam itu.
Belajar Di Makkah
Orang tua Al-Falembani kemudian menghantar anaknya itu ke Arab iaitu
Makkah, dan Madinah. Tidak jelas, bilakah beliau dihantar ke salah satu
pusat ilmu Islam pada waktu itu. Setakat yang terakam dalam sejarah,
beliau dikatakan menganjak dewasa ketika ´berhijrah´ ke tanah Arab. Di
negeri barunya ini, beliau terlibat dalam masyarakat Jawa, dan menjadi
teman seperguruan, menuntut ilmu dengan ulama Nusantara lainnya seperti
Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi,
dan Daud Al-Fatani. Walaupun beliau menetap di Mekah, tidka bermakna
beliau melupakan negeri leluhurnya. Syeikh Al-Falembani, menurut
Azyumardi, tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial,
politik, dan keagamaan di Nusantara.
Sejak perpindahannya di tanah Arab itu, Syeikh Al-Palembani mengalami
perubahan besar berkaitan dengan intelektualitidan spiritual.
Perkembangan dan perubahan ini tidak terlepas dari proses ´pencerahan´
yang diberikan para gurunya. Beberapa gurunya yang masyhur dan berwibawa
dalam proses tersebut, antara lain Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani,
Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun´im Al-Damanhuri.
Selain itu, tercatat juga dalam sejarah Al-Palembani berguru kepada
ulama besar, antaranya Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad
Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri. Tidak sia-sia, perjuangannya
menuntut ilmu di Masjidil Haram dan tempat-tempat lainnya, ´mengangkat´
dirinya menjadi salah seorang ulama Nusantara yang disegani dan
dihormati di kalangan ulama Arab, juga Nusantara.
Mengkritik Tarekat yang Berlebihan
Meskipun mendalami tasawuf, tidak bermakna Syeikh Al-Palembani tidak
kritis. Beliau dikatakan kerap mengkritik kalangan yang mempraktikkan
tarekat secara berlebihan. Beliau selalu mengingatkan akan bahaya
kesesatan yang diakibatkan oleh aliran-aliran tarekat tersebut,
khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang terbukti telah membawa banyak
kesesatan di Acheh. Untuk mencegah apa yang diperingatkannya itu, Syeikh
Al-Palembani menulis semula intipati dua kitab karangan ulama dan ahli
falsafah agung abad pertengahan, Imam Al-Ghazali, iaitu kitab Lubab
Ihya´ Ulumud Diin (Intisari Ihya´ Ulumud Diin), dan Bidayah Al-Hidayah
(Awal Bagi Suatu Hidayah). Dua karya Imam Al-Ghazali ini dinilainya
secara ´moderat´ dan membantu membimbing mereka yang mempraktikkan
aliran sufi.
Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syeikh Al-Palembani mengambil jalan
tengah antara doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran ´wahdatul
wujud´ Ibnu Arabi; bahawa manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia
yang memandang hakikat Yang Maha Esa itu dalam fenomena alam yang serba
aneka dengan tingkat makrifat tertinggi, sehingga mampu ´melihat´ Allah
s.w.t sebagai ´penguasa´ mutlak.
Di Nusantara, khususnya di Indonesia, pengaruh Al-Palembani dianggap cukup besar, khususnya berkaitan dengan ajaran tasawuf.
Ramai meriwayatkan cerita yang menarik ketika Sheikh Abdus Shamad berada
di negerinya Palembang. Oleh kerana rasa bencinya kepada Belanda,
ditambah pula dengan peristiwa di atas kapal itu, beliau bertambah
kecewa kerana melihat pihak Belanda yang kafir telah memegang
pemerintahan di lingkungan Islam dan tiada kuasa sedikit pun bagi
Sultan.
Maka beliau rasa tidak betah untuk diam di Palembang walaupun beliau
kelahiran negeri itu. Sheikh Abdus Shamad mengambil keputusan sendiri
tanpa musyawarah dengan siapa pun, semata-mata memohon petunjuk Allah
dengan melakukan solat istikharah. Keputusannya, beliau mesti
meninggalkan Palembang, mesti kembali ke Mekah semula.
Lantaran terlalu anti Belanda, beliau tidak mahu menaiki kapal Belanda
sehingga terpaksa menebang kayu di hutan untuk membuat perahu
bersama-sama orang-orang yang patuh sebagai muridnya. Walaupun
sebenarnya beliau bukanlah seorang tukang yang pandai membuat perahu,
namun beliau sanggup mereka bentuk perahu itu sendiri untuk membawanya
ke Mekah. Tentunya ada beberapa orang muridnya mempunyai pengetahuan
membuat perahu seperti itu.
Ini membuktikan Sheikh Abdus Shamadal-Falimbani telah menunjukkan
keteguhan pegangan, tawakal adalah merupakan catatan sejarah yang tidak
dapat dilupakan.
Penulis Produktif dan Karya-Karyanya
Karya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani tidak sebanyak karya sahabatnya,
Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Ini kerana Sheikh Daud bin Abdullah
al-Fathani memperoleh ilmu pengetahuan dalam usia muda dan umurnya juga
panjang. Sedangkan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani, mahupun Sheikh
Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari umumnya jauh lebih tua daripada
Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani bahkan boleh dijadikan ayahnya.
Walau bagaimanapun, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dan Sheikh Muhammad
Arsyad al-Banjari termasuk dalam klasifikasi pengarang yang produktif.
Sheikh Muhammad Arsyad al-Banjari terkenal dengan fiqhnya yang berjudul
Sabilul Muhtadin.
Sheikh Abdush Shamad al-Falimbani adalah yang paling menonjol di bidang
tasauf dengan dua buah karyanya yang paling terkenal dan masih beredar
di pasaran kitab sampai sekarang ini ialah Hidayatus Salikin dan Siyarus
Salikin.
Antara kitab karangan Sheikh Abdush Shamad al-Falimbani
- Zahratul Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid, 1178 H/1764 M.
- Risalah Pada Menyatakan Sebab Yang Diharamkan Bagi Nikah, 1179 H/1765 M.
- Hidayatus Salikin fi Suluki MaslakilMuttaqin, 1192 H/1778 M.
- Siyarus Salikin ila ‘Ibadati Rabbil ‘Alamin, 1194 H/1780 M-1203 H/1788 M.
- Al-‘Urwatul Wutsqa wa Silsiltu Waliyil Atqa.
- Ratib Sheikh ‘Abdus Shamad al-Falimbani.
- Nashihatul Muslimina wa Tazkiratul Mu’minina fi Fadhailil Jihadi wa Karaamatil Mujtahidina fi Sabilillah.
- Ar-Risalatu fi Kaifiyatir Ratib Lailatil Jum’ah
- Mulhiqun fi Bayani Fawaidin Nafi’ah fi Jihadi fi Sabilillah
- Zatul Muttaqin fi Tauhidi Rabbil ‘Alamin
- ‘Ilmut Tasawuf
- Mulkhishut Tuhbatil Mafdhah minar Rahmatil Mahdah ‘Alaihis Shalatu was Salam
- Kitab Mi’raj, 1201 H/1786 M.
- Anisul Muttaqin
- Puisi Kemenangan Kedah.
Pulang ke nusantara buat kali kedua
Setelah perahu siap dan kelengkapan pelayaran cukup, maka berangkatlah
Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dari Palembang menuju Mekah dengan
beberapa orang muridnya. Selama di Mekah, beliau bergiat dalam
pengajaran dan penulisan kitab-kitab dalam beberapa bidang pengetahuan
keislaman, terutamanya tentang tasauf, fikah, usuluddin dan lain-lain.
Untuk menunjukkan sikap antinya kepada penjajah, dikarangnya sebuah buku
tentang jihad. Buku yang penting itu berjudul Nasihatul Muslimin wa
Tazkiratul Mu’minin fi Fadhail Jihadi fi Sabilillah wa Karamatul
Mujtahidin fi Sabilillah.
Kegiatan-kegiatannya di bidang penulisan akan dibicarakan pada bahagian lain.
Di sini terlebih dahulu diceritakan kepulangan beliau ke nusantara untuk
kali kedua. Kepulangan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani kali ini tidak
ke Palembang tetapi ke Kedah. Saudara kandungnya Sheikh Wan Abdul Qadir
bin Sheikh Abdul Jalil al-Mahdani ketika itu ialah Mufti Kerajaan Kedah.
Seorang lagi saudaranya, Sheikh Wan Abdullah adalah pembesar Kedah
dengan gelar
Seri Maharaja Putera Dewa.
Meskipun Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani lama menetap di Mekah, namun
hubungan antara mereka tidak pernah terputus. Sekurang-kurangnya mereka
berutus surat setahun sekal, iaitu melalui mereka yang pulang selepas
melaksanakan ibadah haji.
Selain hubungan beliau dengan adik-beradik di Kedah, Sheikh Abdus Shamad
al-Falimbani turut membina hubungan dengan kaum Muslimin di seluruh
Asia Tenggara. Pada zaman itu hampir semua orang yang berhasrat
mendalami ilmu tasauf terutama di sektor Tarekat Sammaniyah, Tarekat
Anfasiyah dan Tarekat Khalwatiyah menerima ilmu daripada beliau.
Beliau sentiasa mengikuti perkembangan di Tanah Jawi (dunia Melayu)
dengan menanyakan kepada pendatang-pendatang dari Pattani, Semenanjung
Tanah Melayu, dan negeri-negeri Nusantara yang di bawah penjajahan
Belanda (pada zaman itu masih disebut Hindia Belanda).
Ini terbukti dengan pengiriman dua pucuk surat kepada Sultan
Hamengkubuwono I, Sultan Mataram dan kepada Susuhunan Prabu Jaka atau
Pangeran Singasari Putera Amengkurat IV. Surat-surat tersebut jatuh ke
tangan Belanda di Semarang (tahun 1772 M).
Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani telah lama bercita-cita untuk ikut
serta dalam salah satu peperangan/pemberontakan melawan penjajah. Namun
setelah dipertimbangkan, beliau lebih tertarik membantu umat Islam di
Pattani dan Kedah melawan keganasan Siam yang beragama Buddha.
Sebelum perang itu terjadi, Sheikh Wan Abdul Qadir bin Sheikh Abdul
Jalil al-Mahdani, Mufti Kedah mengirim sepucuk surat kepada Sheikh Abdus
Shamad di Mekah. Surat itu membawa maksud agar diumumkan kepada kaum
Muslimin yang berada di Mekah bahawa umat Islam Melayu Pattani dan Kedah
sedang menghadapi jihad mempertahankan agama Islam dan watan (tanah
air) mereka.
Dalam peperangan itu, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani memegang peranan
penting dengan beberapa panglima Melayu lainnya. Ada catatan menarik
mengatakan beliau bukan berfungsi sebagai panglima sebenarnya tetapi
beliau bertindak sebagai seorang ulama sufi yang sentiasa berwirid,
bertasbih, bertahmid, bertakbir dan berselawat setiap siang dan malam.
Banyak orang menuduh bahawa orang sufi adalah orang-orang jumud yang
tidak menghiraukan dunia. Tetapi jika kita kaji beberapa biografi ulama
sufi, termasuk Sheikh Abdus Shamad yang diriwayat ini adalah orang-orang
yang bertanggungjawab mempertahankan agama Islam dan tanah air dari
hal-hal yang dapat merosakkan Islam itu.
Golongan ini adalah orang yang berani mati dalam menegakkan jihad fi
sabililah. Mereka tidak terikat dengan sanak keluarga, material duniawi,
pangkat dan kedudukan dan sebagainya, mereka semata-mata mencintai
Allah dan Rasul dari segala apa pun juga.
Kepulangan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani ke Kedah memang pada awalnya
bertekad demi jihad, bukan kerana mengajar masyarakat mengenai
hukum-hukum keislaman walaupun beliau pernah mengajar di Mekah.
Dipendekkan kisah akhirnya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dan
rombongan pun berangkat menuju ke Pattani yang bergelar ‘Cermin Mekah’.
Sayangnya kedatangan beliau agak terlambat, pasukan Pattani telah hampir lemah dengan keganasan Siam.
Sementara itu, Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani dan
pengikut-pengikutnya telah mengundurkan diri ke Pulau Duyung, Terengganu
untuk menyusun semula langkah perjuangan.
Pattani telah patah dan kekuatan lenyap dengan itu Sheikh Abdus Shamad
pun berkhalwat di salah sebuah masjid di Legor. Ada orang mengatakan
beliau berkhalwat di Masjid Kerisik yang terkenal dengan ‘Pintu Gerbang
Hang Tuah’ itu.
Para pengikut tasauf percaya di sanalah beliau menghilang diri tetapi
bagi kalangan bukan tasauf, perkara ini adalah mustahil dan mereka lebih
percaya bahawa beliau telah mati dibunuh oleh musuh-musuh Islam.
Wafatnya
Dr M. Chatib Quzwain menulis dalam kertas kerja dan bukunya berjudul
Mengenal Allah Suatu Studi Mengenal Ajaran Tasauf Sheikh Abdus Shamad
al-Palimbani, halaman 180-181: Bahawa dalam tahun 1244 H/1828 M
dikatakan umur Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani 124 tahun. Baik pendapat
Dr. M Chatib Quzwain mahupun pendapat Dr. Azyumardi Azra perlu
disanggah berdasarkan fakta sejarah.
Azra menulis, “Meskipun saya tidak dapat menentukan secara pasti
angka-angka tahun di seputar kehidupannya, semua sumber bersatu kata
bahwa rentang masa hidup Al-Palimbani adalah dari dasawarsa pertama
hingga akhir abad kedelapan belas.
Al-Baythar menyatakan, Al-Palimbani meninggal setelah 1200/1785. Tetapi
kemungkinan besar dia meninggal setelah 1203/1789, iaitu tahun ketika
dia menyelesaikan karyanya yang terakhir dan paling masyhur, Sayr
Al-Salikin. Ketika dia menyelesaikan karya ini, mestinya umurnya adalah
85 tahun.
“Dalam Tarikh Salasilah Negeri Kedah diriwayatkan, dia terbunuh dalam
perang melawan Thai pada 1244/1828. Tetapi saya sukar menerima
penjelasan ini, sebab tidak ada bukti dari sumber-sumber lain yang
menunjukkan Al-Palimbani pernah kembali ke Nusantara. Lebih jauh lagi,
waktu itu mestinya umurnya telah 124 tahun terlalu tua untuk pergi ke
medan perang.
“Walaupun Al-Baythar tidak menyebutkan tempat di mana Al-Palimbani meninggal, ada kesan kuat dia meninggal di Arabia”.
Menurut Ustaz Wan Mohd Shaghir, sumber dari Al-Baythar yang menyebut
tahun kewafatan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani 1200 H/1785 M, seperti
yang disebut oleh Dr. Azyumardi Azra itu adalah ditolak.
Dengan disebutkannya bahawa Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani wafat tahun
1200 H/1785 M adalah sebagai bukti bahawa Al-Baythar tidak banyak tahu
tentang Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani. Bahkan tulisannya sendiri
bertentangan antara satu sama lainnya.
Cuba diperhatikan kalimat Dr. Azyumardi Azra dalam buku yang sama
halaman 250, “Al-Baythar meriwayatkan, pada 1201/1787 Al-Palimbani
mengadakan perjalanan ke Zabid di mana dia mengajar murid-murid terutama
dari keluarga Ahdal dan Al-Mizjadi”.
Bagaimanakah ini boleh terjadi, pada tempat lain Al-Baythar mengatakan
Al-Palimbani wafat setelah 1200 H/1785 M. Di tempat yang lain disebutnya
Al-Palimbani ke Zabid tahun 1201 H/1787 M. Oleh itu persoalan-persoalan
lain yang bersumber dari Al-Baythar mengenai Sheikh Abdus Shamad
al-Falimbani yang menyalahi sumber-sumber yang telah dianggap benar oleh
tradisi/mutawatir dunia Melayu adalah ditolak juga.
Sumber wafat 1200/1785 M menurut Ustaz Wan Shaghir adalah tidak tepat
kerana menyalahi dengan tulisan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani
sendiri. Kitab-kitab yang dikarang/diselesaikan oleh Sheikh Abdus Shamad
al-Falimbani sesudah tahun 1200 H/1785 M itu ialah Risalah Isra’ wa
Mi’raj, yang dicatat oleh Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani sendiri
selesai menulisnya pada tahun 1201 H, kira-kira bersamaan 1786/87 M.
Umumnya, juga diketahui ialah Siyarus Salikin jilid ke-IV, diselesaikan
pada malam Ahad, 20 Ramadhan 1203 H di Taif, kira-kira bersamaan tahun
1789 M.
Pendapat Dr. Azyumardi Azra pada kalimatnya, “Ketika dia menyelesaikan
karya ini, mestinya umurnya adalah 85 tahun”, adalah tertolak kerana
tahun kelahiran Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani yang dikemukakan oleh
kedua-dua sarjana tersebut adalah ternyata salah seperti yang telah
disebutkan sebelum ini.
Malahan ramai yang menduga bahawa kewafatan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani tahun 1203 H/1789 M.
Malah menurut Ustaz Wan Shaghir lagi, beliau tetap yakin bahawa Sheikh
Abdus Shamad al-Falimbani memang terlibat langsung dalam peperangan di
antara Kedah-Patani melawan Siam yang terjadi jauh sesudah tahun 1203
H/1789 M itu. Ini berdasarkan cerita yang mutawatir, dikuatkan sebuah
manuskrip salinan Haji Mahmud bin Muhammad Yusuf Terengganu murid Sheikh
Abdus Shamad al-Falimbani, telah diketemukan kubur beliau dan lain-lain
yang perlu dikaji dengan lebih teliti.
Dr. M. Chatib Quzwain menyebut bahawa kubur Sheikh Abdus Samad
al-Falimbani di Palembang, Dr. Azyumardi Azra pula menyebut, “ada kesan
kuat dia meninggal di Arabia”, kedua-dua pendapat tersebut bertentangan
dengan Al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah. Juga bertentangan dengan cerita
popular masyarakat Islam di Kedah, di Patani, Banjar,
Mempawah/Pontianak dan tempat-tempat lain yang ada hubungan pertalian
penurunan keilmuan tradisional Islam dunia Melayu.
Selain itu, bertentangan pula dengan manuskrip Al-Urwatul Wutsqa karya
Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani yang disalin oleh Haji Mahmud bin
Muhammad Yusuf Terengganu, salah seorang murid Sheikh Abdus Shamad
al-Falimbani. Bertentangan pula dengan pembuktian bahawa diketemukan
kubur Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani di perantaraan Kampung Sekom
dengan Cenak termasuk dalam kawasan Tiba, iaitu di di Utara Patani.
Menurut Ustaz Wan Shaghir lagi, tidak dipastikan sumber manakah yang
digunakan oleh Dr. Azyumardi Azra yang menyebut, “ada kesan kuat dia
meninggal di Arabia” itu.
6. Muhammad Nafis Al – Banjari
Muhammad Nafis bin Idris bin Husein, demikianlah nama lengkapnya, ia
lahir sekitar tahun 1148 H.11735 M., di kota Martapura, sekarang ibukota
Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, dari keluarga bangsawan atau
kesultanan Banjar yang garis silsilah dan keturunannya bersambung hingga
Sultan Suriansyah (1527-1545 M.) Raja Banjar pertama yang memeluk agama
Islam, yang dahulu bergelar Pangeran Samudera.
Silsilah lengkapnya adalah: Muhammad Nafis bin Idris bin Husein bin Ratu
Kasuma Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan
Tahlillah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan
Musta’in Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin
Sultan Suriansyah.
Muhammad Nafis hidup pada periode yang sama dengan Syeikh Muhammad
Arsyad al-Banjari. Dan diperkirakan wafat sekitar tahun 1812 M. dan
dimakamkan di Mahar Kuning, Desa Binturu, sekarang menjadi bagian desa
dari Kecamatan Kelua, Kabupaten Tabalong. Dan sekarang makam tersebut
menjadi salah satu objek wisata relijius di Kabupaten Tabalong,
Kalimantan Selatan.
Tidak ada catatan tahun yang pasti kapan ia pergi berangkat menuntut
itmu ke tanah suci Makkah. Diperkirakan ia pergi menimba ilmu
pengetahuan ke tanah suci Makkah sejak usia dini dan sangat muda,
sesudah mendapat pendidikan dasar-dasar agama Islam di kota
kelahirannya, Martapura. Di kemudian had, didapati ia belajar dan
menuntut ilmu agama Islam di kota Makkah, sebagaimana ia tuliskan dalam
catatan pendahuluan pada karya tulisnya “ad-Durrun Nafis” (….. dia yang
menulis risalah ini… yaitu, Muhammad Nafis bin Idris bin al-Husein, yang
dilahirkan di Banjar dan hidup di Makkah).
Juga tidak terdapat informasi dan catatan tentang apakah ia di Makkah
dan Madinah belajar bersama Abdussamad al-Falimbani, Muhammad Arsyad
al-Banjari dan rekan-rekan mereka yang lainnya, tetapi besar kemungkinan
masa belajar Muhammad Nafis di Haramain bersamaan dengan masa belajar
Abdussamad al-Falimbani,Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan
mereka yang lainnya.
Kesimpulannya, dengan melihat daftar nama-nama guru Muhammad Nafis
al-Banjari besar kemungkinan mereka belajar bersama pada satu masa atau
masa yang Iain. Sebagaimana kebiasaan para ulama Jawi (Indonesia/Asia
Tenggara) abad ke 17 dan ke 18, ia belajar dan menuntut ilmu pengetahuan
keislaman kepada para ulama yang terkenal di dunia Islam pada masa itu,
baik yang menetap maupun yang sewaktu-waktu berziarah dan mengajar di
Haramain, Makkah dan Madinah, dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan
Islam, terutama tafsir, hadits, fiqih, tauhid dan tasauf.
Di antara guru-gurunya yang tercatat dalam bidang ilmu tasauf di Haramain adalah:
Syeikh Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi al-Azhari.
Syeikh Shiddiq bin Umar Khan.
Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Samani al-Madani.
Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Aziz al-Maghribi.
Syeikh Muhammad bin Ahmad al-Jawhari.
Syeikh Yusuf Abu Dzarrah al-Mishri.
Syeikh Abdullah bin Syeikh Ibrahim al-Mirghani
Syeikh Abu Fauzi Ibrahim bin Muhammad ar-Ra’is az-Zamzami al-Makki.
Karena kegigihannya dalam mempelajari ilmu tasauf Muhammad Nafis
akhirnya berhasil mencapai gelar “Syeikh al-Mursyid”, yaitu seorang yang
memahami, mengerti, mengamalkan serta mempunyai ilmu yang cukup tentang
tasauf, gelar yang menunjukkan bahwa ia mampu dan diperkenankan serta
diberi izin untuk mengajar tasauf dan tarekatnya kepada orang lain.
Karena seringnya melakukan dakwah ke pedalaman ia hanya sempat mengarang
sedikit kitab. Yang sampai sekarang yang terlacak hanya dua buah kitab
saja yaitu:
Kanzus Sa’adah. Yaitu kitab yang berisi tentang istilah-istilah ilmu
tasauf. Kitab ini belum pernah dicetak masih berupa manuskrip.
Ad-Durrun Nafis. Yaitu kitab yang berisi tentang pengesaan perbuatan, nama, sifat dan zat Tuhan.
Kitab ad-Durrun Nafis yang pada mulanya dikarang hanya untuk memenuhi
permintaan kawan-kawan, namun pada akhirnya banyak diminati dan tersebar
luas ke pelosok Nusantara bahkan sampai negara-negara di Timur Tengah
dan Asia Tenggara.
Menurut seorang yang kasyaf mengatakan bahwa kitab ad-Durrun Nafis
berisi bagian dari ilmu para wali Allah, barangsiapa mempelajarinya,
maka ia akan dicatat oleh para wali sebagai bagian dari mereka. Ini
merupakan salah satu karamah dari penyusunnya yaitu Syeikh Muhammad
Nafis.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, seperti kebanyakan ulama
Melayu-Indonesia lainnya, mengikut Madzhab Syafi’i pada bidang fikih dan
Asy’ariyyah pada ilmu tauhid ia juga menggabungkan diri dengan Tarekat
Qadiriyyah, Syattariyyah, Samaniyyah, Naqsyabandyyah dan Khalwatiyyah.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari seperti ulama-ulama sufi lainnya, ia
juga mendapat tantangan dari orang-orang yang tidak sependapat dengan
ajaran tasaufnya. Namun tidak sehebat ta ntangan terhadap Syeikh Hamzah
al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Dalam perkembangan
mutakhir golongan sufi dunia Melayu cukup sering dibicarakan.
Di satu pihak kitab itu dilarang atau diharamkan menggunakannya, di
pihak lain ternyata lebih banyak surau ataupun masjid serta di
rumah-rumah orang yang mengajarkannya. Bahkan KH. Haderanie HN., seorang
ulama di Surabaya berusaha menyalin ke dalam huruf latin kitab
tersebut, yang diberi kata sambutan oleh seorang ulama dan tokoh atau
ahli politik Islam Indonesia, KH. Dr. Idham Chalid. ad-Durr an-Nafis
yang disalin ke dalam huruf latin itu diberi judul Ilmu Ketuhanan
Permata Yang Indah (ad-Durrun Nafis). Juga kitab ad-Durrun Nafis telah
disalin secara lengkap ke dalam huruf latin dan diberi catatan kaki
serta diberi indeks untuk kemudahan menelaahnya oleh Tim Sahabat
Kandangan. Kitab ad-Durrun Nafis latin tersebut menjadi bagian dari buku
Manakib Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari.
7. Muhammad Nawawi Al – Bantani
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu'ti Muhammad ibn
Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan
Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara,
Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314
H/1897 M, Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun.
Ia dimakamkan di Ma'la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri
Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten,
Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum'at
terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati
jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin
Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang
ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon),
yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang
bemama Sunyararas (Tajul 'Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi
Muhammad melalui Imam Ja'far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam
Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Latar belakang pendidikan
Nawawi sebelum melancong ke Mekkah Ia di-didik langsung dalam dekapan
orang tuanya di Tanara, terbukti sejak usia kanak-kanak beliau sudah
hafal al-Qur’an pada usia 15 tahun (1830 M), hingga akhirnya diusianya
yang relatif masih dini ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah
menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu
kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu
fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke Tanah kelahiran
tahun 1833, kemudian menambah pelajaran kepada salah satu seorang ulama
Karawang, Jawa Barat. Setelah itu, baru ia kembali kekampung
halamannya, Tanara, Banten, untuk mengembangkan pengetahuan yang telah
diperolehnya. Dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap
untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil
telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari
masyarakat, Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya
membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun
hanya beberapa tahun kemudian dengan situasi politik Kolonial Belanda
tidak memberikan keluasaan bergerak untuknya. Karenanya, kemudian ia
memutuskan untuk kembali ke Mekkah.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama
kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat
Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama
asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid
Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di
Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia
melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam
(Syiria). Tercatat dalam sejarah bahwa Nawawi juga pemah melakukan
perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Guru sejatinya pun berasal dari
Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.
Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah guna menimba ilmu
lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860
Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi
mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan
agamanya, ia tercatat sebagai Syekh. Pada tahun 1870 kesibukannya
bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak
datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan
beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang
berasal dari Jawa, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah
asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering
ditulis atas permohonan sahabatnya. Hasil karya tulis Nawawi tercatat
tidak kurang dari 99 buah, meliputi bidang fikih, tafsir, hadist,
sejarah, tauhid, akhlak dan bahasa. Salah satu karya Syeikh Nawawi yang
memperoleh pengakuan dan penghargaan ulama Mekkah dan Mesir adalah
Tafsir al-Munir li Ma’alim at-tanzih. Ketika naskah ini selesai, tahun
1886 ( 5 Rabi’ul Akhir 1305 H), terlebih dahulu disodorkan kepada ulama
Mekkah dan kemudian diserahkan kepada ulama Mesir untuk diteliti.
Akhirnya, kitab tafsir tersebut diterbitkan di Mesir. Kitab-kitab yang
ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari
karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami.
Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga
berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami
perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Syeikh Nawawi selalu berkonsultasi dengan
ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu
dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan
seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat
dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia
sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas
dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama
Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke
14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A'yan 'Ulama'
al-Qarn aI-Ra M' 'Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mullaqqiq wa
al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid 'Ulama al-Hijaz.
Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir
waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering
mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Di sana santri
pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu
sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai
tidak mengalami kesulitan. Sebut KH. Hasyim Asya’ari adalah salah satu
murid Syeikh Nawawi yang merintis pesantren di jawa timur. Sedikitnya
Hasyim mengikuti metode yang dipakai oleh syeikh Nawawi. Ketika
menyampaikan disiplin ilmu al-Hadist.
Dasar pemikiran dan bidang teologi
Karya-karya besar Syeikh Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya
berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi
bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa
dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali
bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya
yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi
adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui
semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Syeikh Nawawi
yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh
pemikirannya secara konprehenshif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Syeikh Nawawi mengaku dirinya
sebagai penganut teologi Asy'ari (al-Asyari al-I'tiqodiy). Dan kita bisa
melihat dibeberapa Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di
bidang ini diantaranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam,
al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat
as-Suja dan Mirqat al-Su'ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi
Syeikh Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan
Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asya’riyah. Syekh Nawawi
banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus
mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari
perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatan-Nya. Dia membagi sifat
Allah dalam tiga bagian :
- Wajib (Wujud)
- Mustahil ( ‘Adam )
- Mungkin. (mumkin)
Yang pertama, Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya.
Yang kedua, Sifat mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya.
Yang ketiga, Sifat mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah.
Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah
Allah, namun dalam konteks Indonesia Syeikh Nawawi inilah orang yang
berhasil memperkenalkan teologi Asya’riyah sebagai sistem teologi yang
kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan 'aqliy, menurutnya harus digunakan
bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara
keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini
segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya
dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas
pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk
menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah.
Sebagaimana teolog Asy'ary lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai
penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi
ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah
wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak
sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua
perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada
daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini
dalam konteks Indonesia sebenarnya Syeikh Nawawi telah berhasil
membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi
dan berhasil menemukan titik kecenderungan meluasnya konsep absolutisme
Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah. Sayangnya
sebagian sejarawan modem terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai
sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme.
Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh
daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat
melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam
konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya
telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah
tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat
Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan
Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak
peranan Syeikh Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang
terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam "koloni
Jawa". Dalam beberapa kesempatan Syeikh Nawawi sering memprovokasi
bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya.
Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial
Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan
sebagai "obor" mazhab imam Syafi'i untuk konteks Indonesia. Melalui
karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam
at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad am-Mubtadi'in dan Tasyrih Fathul
Qarib, sehingga Syeikh Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi'i
secara sempurna dan, atas dedikasi Syeikh Nawawi yang mencurahkan
hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari
berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah
diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para
pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas alAzhar Mesir pemah
mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi
ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama Syeikh Nawawi
sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di
Mesir.
8. Hamka (H. Abdul Malik Karim Abdullah)
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA,
yakni singkatan namanya, (lahir di desa kampung Molek, Maninjau,
Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981
pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan
aktivis politik.
Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang
Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang
berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.
Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang merupakan pelopor
Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada
tahun 1906.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga
kelas dua. Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera
Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan
mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di
surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim
Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto, dan Ki Bagus
Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan
Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929.
Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan
Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun
1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi
Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun
1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama
oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika
Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat
dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra,
sejarah,
sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa
Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga
besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas
al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab
juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti
Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul
Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan
bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS
Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur,
dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi
seorang ahli pidato yang andal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia
mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan
khurafat, bid'ah, tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai
tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada
tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan
dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar.
Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di
Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan
Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres
Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat
Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti
Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia tetapi
beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasihatnya
tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi
anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu
menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato
dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947,
Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional,
Indonesia.Disamping Front PertahananNasional yang sudah ada didirikan
pula Badan Pengawal Negeri & kota (BPNK). Pimpinan tersebut diberi
nama Sekretariat yang terdiri dari lima orang yaitu HAMKA, Chatib
Sulaeman, Udin, Rasuna Said dan Karim Halim. Ia menjadi anggota
Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pemilihan Umum
tahun 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia
pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan
oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa
dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan
karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat
sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota
Majelis Perjalanan Haji Indonesia, dan anggota Lembaga Kebudayaan
Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang
wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka
menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas,
Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928,
beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932,
beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar.
Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji
Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti
novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan
antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks
sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan
internasional seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa,
Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan
Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari
pemerintah Indonesia.
Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya
masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan
saja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara
kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia
dan Singapura, turut dihargai.