Sejarah Perkembangan Filologi
Kebudayaan
Yunani lama merupakan salah satu dasar pemikiran yang sangat besar pengaruhnya
dalam kehidupan masyarakat Barat pada umumnya. Dalam segala bidang kehidupan,
dirasakan unsur-unsur yang berakar pada kebudayaan Yunani lama, yang
aspek-aspeknya tersimpan dalam naskah-naskah milik bangsa itu. Diantara cabang
ilmu yang mampu membuka aspek-aspek tersebut adalah filologi. Maka ilmu
filologi Yunani lama merupakan ilmu yang penting untuk menyajikan kebudayaan
Yunani lama, yang hingga abad ini tetap berperan dalam memperluas dan
memperdalam pengetahuan mengenai sumber dari segala ilmu pengetahuan.
Kebudayaan Yunani lama tidak hanya berpengaruh di dunia Barat, akan tetapi
berpengaruh juga di bagian dunia yang lain, seperti kawasan Timur Tengah, Asia
dan Asia Tenggara serta kawasan Nusantara.
Semenjak
kecil masyarakat Barat dibiasakan dengan nama-nama dewa seperti Apollo, Pallas
Athena, Zeus, Hera dan lain-lain. Memang para dewa dan pahlawan dalam legenda
Yunani kuno itu merupakan sumber kehidupan bagi pikiran dan imajinasi orang
Bara, seperti Jawa. Para penulis Barat acap kali mengutip miologi Yunani kuno
apabila mereka memerlukan perumpamaan yang bisa lebih menjelaskan jalan pikiran
mereka. Para sarjana dan ilmuwan menggunakan peristilahan yang digunakan pada legenda
Yunani kuno, seperti “Oedipus-complex”. Dalam dunia ilmu pengetahuan, seperti
ilmu filsafat, matematika, fisika banyak dinukil pendapat para ilmuwan Yunani
kuno untuk lebih menjelaskan konsep mereka. Karena itu jelas sekali bahwa
mereka yang ingin mengetahui secara lebih mendalam aspek-aspek tertentu dari
masyarakat Barat. Ilmu filologi pun juga berakar pada kebudayaan Yunani kuno.
1. Awal Kegiatan Filologi di
Iskandariyah Abad ke-3 SM
Awal
kegiatan ini dilakukan oleh bangsa Yunani, bangsa ini berhasil membaca
naskah-naskah Yunani lama, yang mulai ditulis pada abad ke-8 SM dalam huruf
Yunani kuno. Huruf ini berasal dari huruf bangsa Funisia. Naskah-naskah itu
ditulis pada daun papirus dan merekam tradisi lisan yag mereka miliki
berabad-abad sebelumnya. Mulai abad ke-8 sampai abad ke-3 SM naskah itu
berkali-kali disalin, maka wajarlah kalau mengalami perubahan dari bentuk
aslinya.
Di kota
Iskandariyah pada abad ke-3 SM terdapat pusat ilmu pengetahuan, karena di
tempat itu banyak dilakukan telaah naskah-naskah lama oleh para ahli yang
bekerja di tempat tersebut. Mereka berasal dari daerah sekitar Laut Tengah,
terutama bangsa Yunani sendiri dari daratan Eropa Selatan. Pusat studi itu, seperti
perpustakaan yang menyimpan sejumlah besar naskah, berupa papirus yang
bergulung, yang berisi berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu filsafat,
kedokteran, perbintangan ilmu sastra dan karya sastra, ilmu hukum dan lain
sebagainya milik bangsa Yunani lama. Perpustakaan itu menempati bangunan yang
pada waktu itu yang dinamakan museum, aslinya sebuah kuil untuk memuja 9 orang
dewi muses, dewi kesenian dan ilmu pengetahuan dalam Mitologi Yunani.
Para
penggarap naskah-naskah ini kemudian dikenal dengan ahli filologi dan yang
pertama-tama memakai nama itu ialah Eratosthenes. Dan kemudian metode
yang mereka gunakan untuk menelaah naskah-naskah itu kemudian dikenal dengan ilmu
filologi. Yang kemudian berkembang dari abad ke abad di berbagai negara,
oleh berbagai bangsa, hingga waktu ini. Metode awal itu dilakukan
demikian : pertama-tama mereka memperbaiki huruf dan bacaan, ejaan,
bahasanya, tatatulisnya, kemudian menyuntingnya dalam keadaan yang mudah dibaca.
Para ahli
filologi pada waktu itu benar-benar memilki ilmu yang luas, karena untuk
memahami isi naskah itu orang harus mengenal hurufnya, bahasanya dan ilmu yang
dikandungnya. Setelah dapat membaca dan memahami isinya, mereka lalu menulisnya
kembali dalam huruf yang digunakan pada waktu itu dan bahasa yang dipakai waktu
itu juga. Sehingga kebudayaan Yunani lama yang memiliki nilai luhur itu dapat
dikenal oleh masyarakat pada waktu itu.
Di samping
untu tujuan penggalihan ilmu pengetahuan Yunani lama, kegiatan filologi juga
sebagai kegiatan perdagangan. Untuk tujuan ini penyalinan naskah biasanya
dilakukan oleh para budak belian, yang pada waktu itu masih banyak dan mudah
dikerahkan. Dengan cara demikian mudah sekali terjadi penyimpangan-penyimpangan
dari bahan yang disalin, karena penyalin tidak memiliki kesadaran terhadap
nilai keotentikan naskah lama. Hasil penyalinan ini kemudian diperdagangkan di
sekitar Laut Tengah. Salin-menyalin naskah dengan tangan mudah menimbulkan
bacaan yang rusak atau korup (corrupt), karena ketidaksengajaan atau karena penyalin
bukan ahli dalam ilmu yang ditulis dalam naskah tersebut, atau mungkin juga
karena keteledoran penyalin. Kegiatan filologi di Iskandariyah makin ramai,
makin banyak yang berminat dalam bidang ini sampai jatuhnya daerah Iskandariyah
ke tangan bangsa Romawi pada abad ke-1 SM.
Seperti
telah dikemukakan di atas, bentuk naskah dengan bahan papirus itu
gulungan. Namun tidak efisien karena memerlukan tempat yang luas, kurang mudah
untuk melihat-lihat kembali bagian yang telah dibaca. Penulisan naskah dengan
bentuk gulungan ini tidak memberi nomor halaman seperti dalam naskah berbentuk
buku atau codex.
Isinya
adalah rekaman tradisi lisan mereka pada abad-abad sebelumnya. Bahan yang
diteliti antara lain karya sastra Homerus, dan ilmu pengetahuan yang hingga
saat ini tetap memiliki nilai agung seperti tulisan Socrates dan Aristoteles.
Sesudah
Iskandariyah jatuh ke dalam kekuasaan Romawi. Kegiatan filologi berpindah ke
Eropa Selatanberpusat di kota Roma. Perkembangan ini berkelanjutan hingga
pecahnya kerajaan Romawi pada abad ke-4 menjadi kerajaan Romawi Barat dan
Romawi Timur. Peristiwa itu mempengaruhi perkembangan filologi
selanjutnya.
2. Filologi di Kerajaan Romawi Barat
Kegiatan
filologi mengikuti kegiatan filologi Yunani abad ke-3 s.M. Penggarapan naskah
dalam bahasa Latin yang sudah digarap secara filologis sejak abad ke-3 s.M.
Bentuk naskah latin itu berupa puisi dan prosa yang banyak mewarnai dunia
pendidikan di Eropa pada abad-abad selanjutnya. Tradisi ini dikembangkan di
kerajaan Romawi Barat, dan bahasa Latin menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Sejak
terjadi Kristenisasi di Eropa, kegiatan filologi digunakan untuk kepentingan
agama, dan naskah-naskah Yunani kuna ditinggalkan karena dianggap jahiliah.
Sejak abad
ke-4, mulai digunakan codex (bentuk buku) menggunakan bahan kulit
binatang yang lebih awet dari pada papirus, dan lebih mudah dibaca karena telah
dilengkapi dengan nomor halaman. Pada waktu telaah teks Yunani di Romawi Barat
tampak mundur, tampak mulai bermunculan pusat-pusat teks Yunani di Romawi
Timur. Masing-masing kota menjadi pusat studi dalam bidang tertentu yang
selanjutnya berkembang menjadi perguruan tinggi dan menghasilkan tenaga ahli
dalam bidang masing-masing. Pada masa ini, mulai muncul kebiasaan menulis
tafsir di tepi sebuah naskah, yang disebut scholia. Meskipun begitu,
Romawi Timur dianggap kurang ahli dalam menelaah teks-teks Yunani lama. Hal ini
melatar belakangi diadakannya kuliah filologi di berbagai perguruan tinggi.
3. Filologi di Kerajaan Romawi Timur
Pada waktu
telaah tekas Yunani tampak mundur di Romawi Barat, maka di Romawi Timur
mulai muncul pusat-pusat studi teks Yunani, misalnya di Antioch, Athena,
Iskandariyah, Beirut, Konstantinopel dan Gaza, yang masing merupakan pusat
studi dalam bidang tertentu. Iskandriyah menjadi pusat studi bidang filsafat
Aristoteles. Beirut pada bidang hukum. Pusat-pusat sudi ini selanjutnya
berkembang menjadi perguruan tinggi, ialah lembaga yang menghasilkan tenaga
ahli dalam bidang pemerintah, pendidikan dan administrasi.
Dalam
periode ini muncul kebiasaan menulis tafsir terhadap isi naskah pada tepi
halaman. Catatan demikian itu disebut scholia. Procopius dari Gaza telah
membiasakan menulis naskah langsung diiringi scholia dengan bahan yang
diambil dari tulisan lain yang membicarakan masalah yang sama. Karena tulisan
Procopius pada umumnya mengenai ajaran Befbel maka ajaran penulisan demikian
itu dikenal penulisan baru dalam kajian Befbel.
Pada saat
telaah teks Yunani berkembang di Romawi Timur di rasakan kurangnya ahli yang
melakukan kegiatan itu. Untuk mendapatkan tenaga-tenaga filologi, naskah yang
dipandang penting diajarkan di perguruan tinggi. Maka muncullah mimbar-mimbar
kuliah filologi di berbagai perguruan tinggi.
4. Filologi di Zaman Renaisans
Menyebarnya
era Renaisans di Eropa pada abad ke-13 hingga ke-16 menyebabkan munculnya
kecenderungan pada aliran humanisme. Kata asal ‘humanisme’ dari ‘humaniora’
(kata Yunani) atau ‘amunista’ (kata Latin), yang semula berarti guru yang
mengelola tatabahasa, retorika, puisi, dan filsafat. Karena bahan yang
diperlukan berasal dari teks klasik, terjadi pergeseran arti menjadi aliran
yang mempelajari sastra klasik untk menggali kandungan isinya. Maka, kegiatan
telaah teks lama timbul kembali. Ketika kekuasaan Romawi Timur (Bizantium)
jatuh ke tangan bangsa Turki pada abad ke-15, ahli filologi berpindah ke Eropa
Selatan, terutama Roma. Di sana mereka menjadi pengajar, penyalin naskah, atau
penerjemah teks Yunani dalam bahasa Latin.
Penemuan
mesin cetak oleh Gutenberg pada abad ke-15 juga mempengaruhi perkembangan
filologi. Kemudahan menyalin naskah dan kebutuhan naskah yang semakin meningkat
dari perguruan tinggi meningkatkan perkembangan filologi. Filologi juga
digunakan untuk kepentingan telaah ilmu agama. Dalam perkembangannya, filologi
sempat digunakan untuk mengkaji naskah nonklasik. Hasilnya, pengertian filologi
menjadi kabur dengan ilmu bahasa. Mulai abad ke-19 ilmu bahasa itu berdiri
sendiri, menjadi Linguistik, dan Filologi mendapat pengertian aslinya kembali.
5. Perkembangan Filologi di Timur
Tengah
Bangsa
Yunani lama telah sejak lama menanamkan kebudayaannya hingga di kawasan Timur
Tengah. Ide filsafati dan ilmu eksakta daerah Timur Tengah terutama didapat
dari bangsa Yunani lama. Perguruan tinggi sebagai pusat berbagai ilmu
pengetahuan yang berasal dari Yunani. Dalam perkembangan sejarahnya, puncak
perkembangan ilmu pengetahuan Yunani di kawasan Timur Tengah yaitu pada zaman
dinasti Abasiyah. Pada masa kepemimpinan Makmun (809-833) perkembangan itu
mencapai puncaknya. Diistananya terkumpul sejumlah ilmuwan dari negara lain
yang mempelajari berbagai disiplin ilmu dan diberi fasilitas yang baik. Dikenal
ada tiga penerjemah handal pada saat itu. Salah satunya adalah Hunain yang
melakukan banyak hal dengan mendata naskah-naskah yang diterjemahkan maupun
yang belum diterjemahkan, dan tempat penyimpanannya secara lengkap. Ia juga
melakukan kritik teks yang tajam dengan jangkauan naskah sebanyak mungkin.
Berkatnya dapat diketahui metode filologi yang digunakan pada saat itu.
Kegiatan
filologi juga diterapkan pada naskah-naskah yang dihasilkan penulis dari daerah
itu. Timur Tengah dikenal memiliki dokumen lama berisi nilai-nilai agung.
Sebelum kedatangan Islam, Timur Tengah telah memiliki karya sastra yang
mengagumkan. Setelah kedatangan Islam pun karya sastra mistik Islam berkembang
maju. Kedatangan bangsa Barat di kawasan ini menyebabkan karya sastra mereka
dikenal dunia Barat. Meluasnya kekuasaan dinasti Umayah ke Spanyol dan
Andalusia membawa ilmu pengetahuan Yunani yang telah diserap bangsa Arab
kembali ke Eropa dengan baju Islam. Hingga Bahasa Arab dipelajari sebagai alat
untuk mempelajari naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa tersebut. Terdapat
pusat studi ketimuran di berbagai tempat di Eropa yang menghasilkan ahli-ahli
dalam mengkaji naskah-naskah Timur Tengah.
6. Filologi Dinasti Abbasiyah dan
Masa Keemasan Islam
Pada zaman
dinasti Abbasiyah, dalam pemerintahan khalifah Mansur (754-775), Harun Alrasyid
(786-809), dan Makmun (809-833) studi naskah dan ilmu pengetahuan Yunani makin
berkembang dan puncak perkembangannya itudalam pemerintahan Makmun. Di dalam
istananya terkumpul sejumlah ilmuwan dari negara lain: mereka beljr ilmu
geometri, astronomi, teknik dan musik. Mereka mendapat pelayanan yang baik,
dibangunkan pusat studi yan diberi nama Bait al-Hikmah (Lembaga
Kebijaksanaan), yang dilengkapi dengan perpustakaan dan observatorium.
Pada waktu
itu dikenal tiga penerjemah kenamaan, bernama Qusta bin Luqa, Hunain bin Ishaq
dan Hubaisyi, ketiga-tiganya beragama Nasrani. Hunain merupakan penerjemah yang
paling luas ilmu pengetahuannya, menguasai bahasa Arab, Yunani, Persia: bahasa
ibunya sendiri bahasa Arab. Sejak umur 7 tahun dia sudah menjadi penerjemah
kedalam bahasa-bahasa tersebut. Mungkin ketrampilannya diperoleh karena dia
tinggal di daerah multilingual. Dia mendirikan lembaga penerjemah di Bagdad,
akan tetapi tidak jelas apakah kegiatan penerjemahanitu dari naskah-naskah
Yunani atau dari terjemahannya dalam bahasa siria.
Di waktu
itu masih banyak tersimapan di daerahnya naskah-naskah Yunani dan Hunain
sendiri rajin mencari naskah-naskah lama Yunani sampai ke Mesir, Siria,
Palestina dan Mesopotamia. Hunain menyusun daftar naskah Yunani yang telah di
terjemahkan ke dalam bahasa Siria dan Arab , disertai nama para penerjemahnya
dan untuk siapa naskah itu diterjemahkan. Disamping itu Hunain juga menyertaka
kritik Hunain terhadap hasil terjemahan orang lain sangat tajam. Dengan
demikian dapat diketahui metode filologi yang digunakan pada waktu abad ke-9 di
kawasan Timur Tengah. Di samping melakukan telaah terhadap naskah-naskah
Yunani, para ahli filologi di kawasan Timur Tengah juga menerapkan teori
filologi terhadapnaskah-naskah yang dihasilkan oleh penulis-penulis dari daerah
itu.
7. Perkembangan Filologi Zaman
Dinasti Abbasiyah dan Pasca Keruntuhannya
Bangsa-bangsa
di Timur Tengah memang dikenal sebagai bangsa yang memiliki dokumen lama yang
berisi nilai-nilai yang agung, seperti karya tulis yang di hasilkan oleh bangsa
Arab dan Persia. Sebelum kedatangan agama Islam, kedua bangsa ini telah
memiliki karya sastra yang mengagumkan, dlam bentuk prosa dan puisi misalnya Mu’allaqat
dan Qasidah pada bangsa Arab. Setelah Islam berkembang, kegiatan
meluas di kawasan di luar negara Arab , serta mistik Islam berkembang dengan
maju di daerah Persia pada abad ke-10 hingga abad ke-13. Karya sastra mistik
yang masyhur misal Mantiq al-Tair susunan Farid al-Din Al-Tar, Mathnawi
ima’nawi karya Jalal al-Din al-Rumi, Tarjuman al-Asywaqtulisan Ibn al-Arabi.
Puisi-puisi penyair Persia terkenal Umar Khayyam serta cerita Seribu Satu Malam
hingga saat ini masih banyak dikenal di dunia Barat dan berkali-kali
diterjemahkan dalam bahasa-bahasa Barat dan bahasa-bahasa Timur.
Kedatangan bangsa Barat di kawasan
Timur Tengah membuka kegiatan filologi terhadap karya tersebut, sehingga isi
kndungan naskah-naskah itu dikenal di dunia Barat dan banyak yang menarik
perhatian orientalis Barat. Maka banyaklah teks yang diteliti oleh mereka serta
kemudian banyaklah naskah yang mengalir ke pusat-pusat studi dan koleksi naskah
di Eropa. Kajian filologi terhadap naskah-naskah tersebut banyak dilakukan di
pusat-pusat kebudayaan ketimuran di kawasan Eropa dan hasil kajian itu berupa
teori-teori mengenai kebudayaan dan sastra Arab, Persi, Siria, Turki dan lain
sebagainya.
8. Filologi di Kawasan Asia : India
Sejak
beberapa abad sebelum Masehi, bangsa Asia telah memiliki peradaban yang tinggi.
Sejak mengenal huruf, sebagian besar kebudayaan mereka ditulis dalam bentuk
naskah yang member banyak informasi mengenai kehidupan mereka di masa lampau.
Diantara bangsa Asia yang dipandang memiliki dokumen masa lampau adalah India.
Penelitian terhadap India menunjukkan adanya
kontak secara langsung dengan Yunani pada zaman Raja Iskandar Zulkarnain yang
melakukan perjalanan sampai India pada abad ke-3. Terlihat adanya perpaduan
dengan kebudayaan Yunani pada bentuk patung dan nilai-nilai ilmunya. Sejak abad
ke-1 mulai terjadi kontak langsung bangsa India dengan Cina.
Sekelompok pendeta Buddha mengadakan
perjalanan dakwah ke Cina, dan sesudah itu musafir Cina berziarah ke
tempat-tempat suci agama Buddha di India. Dalam perjalanan itu, mereka sempat
menerjemahkan naskah-naskah India ke dalam bahasa Cina. Bahkan ada ringkasan
delapan bab ilmu kedokteran India dalam bahasa Cina. Kontak antara bangsa India
dengan Timur Tengah mungkin terjadi sejak awal sebelum bertemu dengan bangsa
lain.
Kemungkinan ini sangat kuat mengingat letak
geografis kedua kebudayaan besar ini berdekatan tanpa terbatas kondisi alam
tertentu. Sayangnya belum didapati keterangan yang memadai dari sedikit dokumen
yang menunjukkan kontak antara keduanya. Hanya terdapat terjemahan naskah India
ke dalam bahasa Persi dan catatan musafir Arab-Persi mengenai beberapa aspek
kebudayaan India dalam kunjungannya ke tempat tersebut. Naskah India yang
dipandang paling tua berupa kesusastraan Weda, ialah kitab suci agama Hindu
yang disusun mungkin pada abad ke-6 s.M. Setelah periode Weda disusunlah
naskah-naskah kitab suci lain. Selain naskah dengan nilai agama dan filsafat,
ada uga naskah lama India yang berisi wiracarita misalnya Mahabarata dan
Ramayana serta karya yang berisi ilmu pengetahuan seperti ilmu kedokteran,
tatabahasa, hukum, dan politik.
Telaah
Filologi terhadap naskah-naskah India baru dilakukan setelah adanya kontak
dengan bangsa Barat, yaitu setelah ditemukannya jalan laut ke India. Proses
mengenal kubudayaan India bertahap, mulai dari bahasa daerah, bahasa
Sansekerta, baru kemudian ditemukan kitab Weda. Sejak itu lah kegiatan filologi
terhadap naskah India semakin berkembang dan membuahkan hasil yang sangat
berarti seperti berbagai kamus dan tatabahasa Sansekerta .
9. Filologi di Kawasan Nusantara
Nusantara
adalah kawasan yang termasuk Asia Tenggara. Seperti kawasan Asia pada umumnya,
Nusantara telah memiliki peradaban tinggi dan diwariskan pada generasi
selanjutnya melalui berbagai media, salah satunya tulisan berupa naskah.
Kawasan Nusantara terbagi dalam berbagai etnis dengan ciri khas masing-masing
tanpa meninggalkan sifat khas kebudayaan Nusantara.
Keinginan
untuk mengkaji naskah-naskah Nusantara hadir setelah ketangan bangsa Barat.
Yang pertama menyadari nilai berharga naskah Nusantara adalah pedagang yang
ingin mendapat untung dari penjualan naskah tersebut. Datangnya bangsa Barat
dan ditulisnya buku tentang kebudayaan Nusantara oleh Frederik de Houtman
menimbulkan minat besar bangsa Barat pada Nusantara. Dan walaupun terdapat
beragam suku dengan bahasa yang berbeda-beda, namun untuk mendekati bangsa ini
langkah pertama yang diperlukan adalah kemampuan bahasa Melayu. Karena
kemampuan berbahasa Melayu akan membuka komunikasi dengan pribumi dan bangsa
lain yang juga mengunjungi daerah ini.
Selanjutnya
pengamatan terhadap bahasa melalui pembacaan naskah dilanjutkan oleh para
penginjil yang dikirim dalam jumlah besar oleh VOC. Bahasa Nusantara dipelajari
untuk kepentingan tugas penginjil. Hasilnya adalah penelitian dan catatan rapi
mengenai kebudayaan bahkan hingga suku yang belum mengenal tulisan. Karena
keterbatasan tenaga, awalnya kegiatan filologi hanya sampai pada tahap
menyunting. Yaitu menyajikan naskah pada bentuk aslinya ditambahkan keterangan
pendahuluan. Pada tahapan selanjutnya, naskah disunting dalam bentuk
transliterasi dalam huruf latin. Perkembangan selanjutnya adalah suntungan
naskah disertai terjemahannya dalam bahasa asing. Pada abad ke-20 muncul
suntingan yang lebih mantab dengan kritik teks disertai terjemahan dalam bahasa
Belanda, Inggris, atau Jerman. Juga muncul terbitan ulang dari naskah yang sudah
pernah disunting dengan maksud untuk menyempurnakan. Pada saat itu juga banyak
terbit naskah-naskah keagamaan baik Melayu maupun Jawa, sehingga dapat dikaji
oleh ahli teologi serta selanjutnya menghasilkan karya ilmiah dalam bidang
tersebut.
Selanjutnya banyak diterbitkan suntingan-suntingan naskah dengan pembahasan isi ditinjau dari berbagai disiplin. Pada periode mutakhir mulai dirintis telaah naskah-naskah Nusantara dengan analisis berdasarkan ilmu sastra barat. Banyak terdapat analisis struktural, fungsi, dan amanat pada naskah-naskah tersebut. Besarnya minat dan kesempatan pada masa-masa selanjutnya mendorong terbitnya kamus bahasa-bahasa Nusantara. Kajian terhadap naskahnya juga membuka kebudayaan Nusantara dan mengangkat nilai-nilai luhur yang tersimpan di dalamnya.
Sedangkan dari Indonesia sendiri, tokoh pribumi yang diakui sebagai ahli filologi adalah Husein Djayadiningrat dengan penelitian mengenai sejarah Banten. Sedangkan setelah perang dunia kedua hanya terdapat sedikit ahli filologi dengan sedikit karya yang dihasilkan. Selanjutnya setelah perginya nama-nama besar R.M.Ng. Poerbatjaraka dan Prof. R. Prijana ahli filologi sangat sulit ditemukan.
Usaha mencari karya filologi dari bangsa sendiri bisa dibilang sia-sia. Belum dapat ditemukan sumbangan yang berarti dalam bidang filologi dari dua universitas tertua di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Sehingga sumbangan filologi dalam perkembangan kebudayaan nasional pun hampir tak ada. Nusantara seharusnya bersyukur atas peninggalan tertulis dari generasi sebelumnya. Untuk itu diperlukan kajian filologi yang memadai sehingga dapat digunakan untuk mengetahui kebudayaan dan sejarah kehidupan sebelumnya.
Selanjutnya banyak diterbitkan suntingan-suntingan naskah dengan pembahasan isi ditinjau dari berbagai disiplin. Pada periode mutakhir mulai dirintis telaah naskah-naskah Nusantara dengan analisis berdasarkan ilmu sastra barat. Banyak terdapat analisis struktural, fungsi, dan amanat pada naskah-naskah tersebut. Besarnya minat dan kesempatan pada masa-masa selanjutnya mendorong terbitnya kamus bahasa-bahasa Nusantara. Kajian terhadap naskahnya juga membuka kebudayaan Nusantara dan mengangkat nilai-nilai luhur yang tersimpan di dalamnya.
Sedangkan dari Indonesia sendiri, tokoh pribumi yang diakui sebagai ahli filologi adalah Husein Djayadiningrat dengan penelitian mengenai sejarah Banten. Sedangkan setelah perang dunia kedua hanya terdapat sedikit ahli filologi dengan sedikit karya yang dihasilkan. Selanjutnya setelah perginya nama-nama besar R.M.Ng. Poerbatjaraka dan Prof. R. Prijana ahli filologi sangat sulit ditemukan.
Usaha mencari karya filologi dari bangsa sendiri bisa dibilang sia-sia. Belum dapat ditemukan sumbangan yang berarti dalam bidang filologi dari dua universitas tertua di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Sehingga sumbangan filologi dalam perkembangan kebudayaan nasional pun hampir tak ada. Nusantara seharusnya bersyukur atas peninggalan tertulis dari generasi sebelumnya. Untuk itu diperlukan kajian filologi yang memadai sehingga dapat digunakan untuk mengetahui kebudayaan dan sejarah kehidupan sebelumnya.
Sebenarnya kajian filologi akan sangat berguna juga karena dapat digunakan
dalam bidang ilmu lain. Sayangnya kajian filologi saat ini belum terlihat hasil
yang berarti. Bila saja ilmu filologi dilengkapi dengan ilmu social lainnya
seperti arkeologi maupun antropologi, tentu akan didapati hasil yang lebih
baik.
Sumber: Baried, Siti Baroroh. 1994.Pengantar
Teori Filologi.Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar