Senin, 04 Februari 2013

SEJARAH PERKEMBANGAN FILOLOGI


Sejarah Perkembangan Filologi
Kebudayaan Yunani lama merupakan salah satu dasar pemikiran yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Barat pada umumnya. Dalam segala bidang kehidupan, dirasakan unsur-unsur yang berakar pada kebudayaan Yunani lama, yang aspek-aspeknya tersimpan dalam naskah-naskah milik bangsa itu. Diantara cabang ilmu yang mampu membuka aspek-aspek tersebut adalah filologi. Maka ilmu filologi Yunani lama merupakan ilmu yang penting untuk menyajikan kebudayaan Yunani lama, yang hingga abad ini tetap berperan dalam memperluas dan memperdalam pengetahuan mengenai sumber dari segala ilmu pengetahuan. Kebudayaan Yunani lama tidak hanya berpengaruh di dunia Barat, akan tetapi berpengaruh juga di bagian dunia yang lain, seperti kawasan Timur Tengah, Asia dan Asia Tenggara serta kawasan Nusantara.
Semenjak kecil masyarakat Barat dibiasakan dengan nama-nama dewa seperti Apollo, Pallas Athena, Zeus, Hera dan lain-lain. Memang para dewa dan pahlawan dalam legenda Yunani kuno itu merupakan sumber kehidupan bagi pikiran dan imajinasi orang Bara, seperti Jawa. Para penulis Barat acap kali mengutip miologi Yunani kuno apabila mereka memerlukan perumpamaan yang bisa lebih menjelaskan jalan pikiran mereka. Para sarjana dan ilmuwan menggunakan peristilahan yang digunakan pada legenda Yunani kuno, seperti “Oedipus-complex”. Dalam dunia ilmu pengetahuan, seperti ilmu filsafat, matematika, fisika banyak dinukil pendapat para ilmuwan Yunani kuno untuk lebih menjelaskan konsep mereka. Karena itu jelas sekali bahwa mereka yang ingin mengetahui secara lebih mendalam aspek-aspek tertentu dari masyarakat Barat. Ilmu filologi pun juga berakar pada kebudayaan Yunani kuno.
1. Awal Kegiatan Filologi di Iskandariyah Abad ke-3 SM
Awal kegiatan ini dilakukan oleh bangsa Yunani, bangsa ini berhasil membaca naskah-naskah Yunani lama, yang mulai ditulis pada abad ke-8 SM dalam huruf Yunani kuno. Huruf ini berasal dari huruf bangsa Funisia. Naskah-naskah itu ditulis pada daun papirus dan merekam tradisi lisan yag mereka miliki berabad-abad sebelumnya. Mulai abad ke-8 sampai abad ke-3 SM naskah itu berkali-kali disalin, maka wajarlah kalau mengalami perubahan dari bentuk aslinya.
Di kota Iskandariyah pada abad ke-3 SM terdapat pusat ilmu pengetahuan, karena di tempat itu banyak dilakukan telaah naskah-naskah lama oleh para ahli yang bekerja di tempat tersebut. Mereka berasal dari daerah sekitar Laut Tengah, terutama bangsa Yunani sendiri dari daratan Eropa Selatan. Pusat studi itu, seperti perpustakaan yang menyimpan sejumlah besar naskah, berupa papirus yang bergulung, yang berisi berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu filsafat, kedokteran, perbintangan ilmu sastra dan karya sastra, ilmu hukum dan lain sebagainya milik bangsa Yunani lama. Perpustakaan itu menempati bangunan yang pada waktu itu yang dinamakan museum, aslinya sebuah kuil untuk memuja 9 orang dewi muses, dewi kesenian dan ilmu pengetahuan dalam Mitologi Yunani.
Para penggarap naskah-naskah ini kemudian dikenal dengan ahli filologi dan yang pertama-tama memakai nama itu ialah Eratosthenes. Dan kemudian metode yang mereka gunakan untuk menelaah naskah-naskah itu kemudian dikenal dengan ilmu filologi. Yang kemudian berkembang dari abad ke abad di berbagai negara, oleh berbagai bangsa, hingga waktu ini. Metode awal itu dilakukan demikian : pertama-tama mereka memperbaiki huruf dan bacaan, ejaan, bahasanya, tatatulisnya, kemudian menyuntingnya dalam keadaan yang mudah dibaca. 
Para ahli filologi pada waktu itu benar-benar memilki ilmu yang luas, karena untuk memahami isi naskah itu orang harus mengenal hurufnya, bahasanya dan ilmu yang dikandungnya. Setelah dapat membaca dan memahami isinya, mereka lalu menulisnya kembali dalam huruf yang digunakan pada waktu itu dan bahasa yang dipakai waktu itu juga. Sehingga kebudayaan Yunani lama yang memiliki nilai luhur itu dapat dikenal oleh masyarakat pada waktu itu.             
Di samping untu tujuan penggalihan ilmu pengetahuan Yunani lama, kegiatan filologi juga sebagai kegiatan perdagangan. Untuk tujuan ini penyalinan naskah biasanya dilakukan oleh para budak belian, yang pada waktu itu masih banyak dan mudah dikerahkan. Dengan cara demikian mudah sekali terjadi penyimpangan-penyimpangan dari bahan yang disalin, karena penyalin tidak memiliki kesadaran terhadap nilai keotentikan naskah lama. Hasil penyalinan ini kemudian diperdagangkan di sekitar Laut Tengah. Salin-menyalin naskah dengan tangan mudah menimbulkan bacaan yang rusak atau korup (corrupt), karena ketidaksengajaan atau karena penyalin bukan ahli dalam ilmu yang ditulis dalam naskah tersebut, atau mungkin juga karena keteledoran penyalin. Kegiatan filologi di Iskandariyah makin ramai, makin banyak yang berminat dalam bidang ini sampai jatuhnya daerah Iskandariyah ke tangan bangsa Romawi pada abad ke-1 SM.
Seperti telah dikemukakan di atas, bentuk naskah dengan bahan papirus itu gulungan. Namun tidak efisien karena memerlukan tempat yang luas, kurang mudah untuk melihat-lihat kembali bagian yang telah dibaca. Penulisan naskah dengan bentuk gulungan ini tidak memberi nomor halaman seperti dalam naskah berbentuk buku atau codex.
Isinya adalah rekaman tradisi lisan mereka pada abad-abad sebelumnya. Bahan yang diteliti antara lain karya sastra Homerus, dan ilmu pengetahuan yang hingga saat ini tetap memiliki nilai agung seperti tulisan Socrates dan Aristoteles.
Sesudah Iskandariyah jatuh ke dalam kekuasaan Romawi. Kegiatan filologi berpindah ke Eropa Selatanberpusat di kota Roma. Perkembangan ini berkelanjutan hingga pecahnya kerajaan Romawi pada abad ke-4 menjadi kerajaan Romawi Barat dan Romawi Timur. Peristiwa itu mempengaruhi perkembangan filologi selanjutnya.                                  
2. Filologi di Kerajaan Romawi Barat
Kegiatan filologi mengikuti kegiatan filologi Yunani abad ke-3 s.M. Penggarapan naskah dalam bahasa Latin yang sudah digarap secara filologis sejak abad ke-3 s.M. Bentuk naskah latin itu berupa puisi dan prosa yang banyak mewarnai dunia pendidikan di Eropa pada abad-abad selanjutnya. Tradisi ini dikembangkan di kerajaan Romawi Barat, dan bahasa Latin menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Sejak terjadi Kristenisasi di Eropa, kegiatan filologi digunakan untuk kepentingan agama, dan naskah-naskah Yunani kuna ditinggalkan karena dianggap jahiliah.
Sejak abad ke-4, mulai digunakan codex (bentuk buku) menggunakan bahan kulit binatang yang lebih awet dari pada papirus, dan lebih mudah dibaca karena telah dilengkapi dengan nomor halaman. Pada waktu telaah teks Yunani di Romawi Barat tampak mundur, tampak mulai bermunculan pusat-pusat teks Yunani di Romawi Timur. Masing-masing kota menjadi pusat studi dalam bidang tertentu yang selanjutnya berkembang menjadi perguruan tinggi dan menghasilkan tenaga ahli dalam bidang masing-masing. Pada masa ini, mulai muncul kebiasaan menulis tafsir di tepi sebuah naskah, yang disebut scholia. Meskipun begitu, Romawi Timur dianggap kurang ahli dalam menelaah teks-teks Yunani lama. Hal ini melatar belakangi diadakannya kuliah filologi di berbagai perguruan tinggi.
3. Filologi di Kerajaan Romawi Timur
Pada waktu telaah tekas Yunani tampak mundur  di Romawi Barat, maka di Romawi Timur mulai muncul pusat-pusat studi teks Yunani, misalnya di Antioch, Athena, Iskandariyah, Beirut, Konstantinopel dan Gaza, yang masing merupakan pusat studi dalam bidang tertentu. Iskandriyah menjadi pusat studi bidang filsafat Aristoteles. Beirut pada bidang hukum. Pusat-pusat sudi ini selanjutnya berkembang menjadi perguruan tinggi, ialah lembaga yang menghasilkan tenaga ahli dalam bidang pemerintah, pendidikan dan administrasi.
Dalam periode ini muncul kebiasaan menulis tafsir terhadap isi naskah pada tepi halaman. Catatan demikian itu disebut scholia. Procopius dari Gaza telah membiasakan menulis naskah langsung diiringi scholia dengan bahan yang diambil dari tulisan lain yang membicarakan masalah yang sama. Karena tulisan Procopius pada umumnya mengenai ajaran Befbel maka ajaran penulisan demikian itu dikenal penulisan baru dalam kajian Befbel.
Pada saat telaah teks Yunani berkembang di Romawi Timur di rasakan kurangnya ahli yang melakukan kegiatan itu. Untuk mendapatkan tenaga-tenaga filologi, naskah yang dipandang penting diajarkan di perguruan tinggi. Maka muncullah mimbar-mimbar kuliah filologi di berbagai perguruan tinggi.
4. Filologi di Zaman Renaisans
Menyebarnya era Renaisans di Eropa pada abad ke-13 hingga ke-16 menyebabkan munculnya kecenderungan pada aliran humanisme. Kata asal ‘humanisme’ dari ‘humaniora’ (kata Yunani) atau ‘amunista’ (kata Latin), yang semula berarti guru yang mengelola tatabahasa, retorika, puisi, dan filsafat. Karena bahan yang diperlukan berasal dari teks klasik, terjadi pergeseran arti menjadi aliran yang mempelajari sastra klasik untk menggali kandungan isinya. Maka, kegiatan telaah teks lama timbul kembali. Ketika kekuasaan Romawi Timur (Bizantium) jatuh ke tangan bangsa Turki pada abad ke-15, ahli filologi berpindah ke Eropa Selatan, terutama Roma. Di sana mereka menjadi pengajar, penyalin naskah, atau penerjemah teks Yunani dalam bahasa Latin.
Penemuan mesin cetak oleh Gutenberg pada abad ke-15 juga mempengaruhi perkembangan filologi. Kemudahan menyalin naskah dan kebutuhan naskah yang semakin meningkat dari perguruan tinggi meningkatkan perkembangan filologi. Filologi juga digunakan untuk kepentingan telaah ilmu agama. Dalam perkembangannya, filologi sempat digunakan untuk mengkaji naskah nonklasik. Hasilnya, pengertian filologi menjadi kabur dengan ilmu bahasa. Mulai abad ke-19 ilmu bahasa itu berdiri sendiri, menjadi Linguistik, dan Filologi mendapat pengertian aslinya kembali.
5. Perkembangan Filologi di Timur Tengah
Bangsa Yunani lama telah sejak lama menanamkan kebudayaannya hingga di kawasan Timur Tengah. Ide filsafati dan ilmu eksakta daerah Timur Tengah terutama didapat dari bangsa Yunani lama. Perguruan tinggi sebagai pusat berbagai ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani. Dalam perkembangan sejarahnya, puncak perkembangan ilmu pengetahuan Yunani di kawasan Timur Tengah yaitu pada zaman dinasti Abasiyah. Pada masa kepemimpinan Makmun (809-833) perkembangan itu mencapai puncaknya. Diistananya terkumpul sejumlah ilmuwan dari negara lain yang mempelajari berbagai disiplin ilmu dan diberi fasilitas yang baik. Dikenal ada tiga penerjemah handal pada saat itu. Salah satunya adalah Hunain yang melakukan banyak hal dengan mendata naskah-naskah yang diterjemahkan maupun yang belum diterjemahkan, dan tempat penyimpanannya secara lengkap. Ia juga melakukan kritik teks yang tajam dengan jangkauan naskah sebanyak mungkin. Berkatnya dapat diketahui metode filologi yang digunakan pada saat itu.
Kegiatan filologi juga diterapkan pada naskah-naskah yang dihasilkan penulis dari daerah itu. Timur Tengah dikenal memiliki dokumen lama berisi nilai-nilai agung. Sebelum kedatangan Islam, Timur Tengah telah memiliki karya sastra yang mengagumkan. Setelah kedatangan Islam pun karya sastra mistik Islam berkembang maju. Kedatangan bangsa Barat di kawasan ini menyebabkan karya sastra mereka dikenal dunia Barat. Meluasnya kekuasaan dinasti Umayah ke Spanyol dan Andalusia membawa ilmu pengetahuan Yunani yang telah diserap bangsa Arab kembali ke Eropa dengan baju Islam. Hingga Bahasa Arab dipelajari sebagai alat untuk mempelajari naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa tersebut. Terdapat pusat studi ketimuran di berbagai tempat di Eropa yang menghasilkan ahli-ahli dalam mengkaji naskah-naskah Timur Tengah.
6. Filologi Dinasti Abbasiyah dan Masa Keemasan Islam
Pada zaman dinasti Abbasiyah, dalam pemerintahan khalifah Mansur (754-775), Harun Alrasyid (786-809), dan Makmun (809-833) studi naskah dan ilmu pengetahuan Yunani makin berkembang dan puncak perkembangannya itudalam pemerintahan Makmun. Di dalam istananya terkumpul sejumlah ilmuwan dari negara lain: mereka beljr ilmu geometri, astronomi, teknik dan musik. Mereka mendapat pelayanan yang baik, dibangunkan pusat studi yan diberi nama Bait al-Hikmah (Lembaga Kebijaksanaan), yang dilengkapi dengan perpustakaan dan observatorium.
Pada waktu itu dikenal tiga penerjemah kenamaan, bernama Qusta bin Luqa, Hunain bin Ishaq dan Hubaisyi, ketiga-tiganya beragama Nasrani. Hunain merupakan penerjemah yang paling luas ilmu pengetahuannya, menguasai bahasa Arab, Yunani, Persia: bahasa ibunya sendiri bahasa Arab. Sejak umur 7 tahun dia sudah menjadi penerjemah kedalam bahasa-bahasa tersebut. Mungkin ketrampilannya diperoleh karena dia tinggal di daerah multilingual. Dia mendirikan lembaga penerjemah di Bagdad, akan tetapi tidak jelas apakah kegiatan penerjemahanitu dari naskah-naskah Yunani atau dari terjemahannya dalam bahasa siria.
Di waktu itu masih banyak tersimapan di daerahnya naskah-naskah Yunani dan Hunain sendiri rajin mencari naskah-naskah lama Yunani sampai ke Mesir, Siria, Palestina dan Mesopotamia. Hunain menyusun daftar naskah Yunani yang telah di terjemahkan ke dalam bahasa Siria dan Arab , disertai nama para penerjemahnya dan untuk siapa naskah itu diterjemahkan. Disamping itu Hunain juga menyertaka kritik Hunain terhadap hasil terjemahan orang lain sangat tajam. Dengan demikian dapat diketahui metode filologi yang digunakan pada waktu abad ke-9 di kawasan Timur Tengah. Di samping melakukan telaah terhadap naskah-naskah Yunani, para ahli filologi di kawasan Timur Tengah juga menerapkan teori filologi terhadapnaskah-naskah yang dihasilkan oleh penulis-penulis dari daerah itu.
7. Perkembangan Filologi Zaman Dinasti Abbasiyah dan Pasca Keruntuhannya
Bangsa-bangsa di Timur Tengah memang dikenal sebagai bangsa yang memiliki dokumen lama yang berisi nilai-nilai yang agung, seperti karya tulis yang di hasilkan oleh bangsa Arab dan Persia. Sebelum kedatangan agama Islam, kedua bangsa ini telah memiliki karya sastra yang mengagumkan, dlam bentuk prosa dan puisi misalnya Mu’allaqat dan Qasidah pada bangsa Arab. Setelah Islam berkembang, kegiatan meluas di kawasan di luar negara Arab , serta mistik Islam berkembang dengan maju di daerah Persia pada abad ke-10 hingga abad ke-13. Karya sastra mistik yang masyhur misal Mantiq al-Tair susunan Farid al-Din Al-Tar, Mathnawi ima’nawi karya Jalal al-Din al-Rumi, Tarjuman al-Asywaqtulisan Ibn al-Arabi. Puisi-puisi penyair Persia terkenal Umar Khayyam serta cerita Seribu Satu Malam hingga saat ini masih banyak dikenal di dunia Barat dan berkali-kali diterjemahkan dalam bahasa-bahasa Barat dan bahasa-bahasa Timur.
Kedatangan bangsa Barat di kawasan Timur Tengah membuka kegiatan filologi terhadap karya tersebut, sehingga isi kndungan naskah-naskah itu dikenal di dunia Barat dan banyak yang menarik perhatian orientalis Barat. Maka banyaklah teks yang diteliti oleh mereka serta kemudian banyaklah naskah yang mengalir ke pusat-pusat studi dan koleksi naskah di Eropa. Kajian filologi terhadap naskah-naskah tersebut banyak dilakukan di pusat-pusat kebudayaan ketimuran di kawasan Eropa dan hasil kajian itu berupa teori-teori mengenai kebudayaan dan sastra Arab, Persi, Siria, Turki dan lain sebagainya.      
8. Filologi di Kawasan Asia : India
Sejak beberapa abad sebelum Masehi, bangsa Asia telah memiliki peradaban yang tinggi. Sejak mengenal huruf, sebagian besar kebudayaan mereka ditulis dalam bentuk naskah yang member banyak informasi mengenai kehidupan mereka di masa lampau. Diantara bangsa Asia yang dipandang memiliki dokumen masa lampau adalah India.
 Penelitian terhadap India menunjukkan adanya kontak secara langsung dengan Yunani pada zaman Raja Iskandar Zulkarnain yang melakukan perjalanan sampai India pada abad ke-3. Terlihat adanya perpaduan dengan kebudayaan Yunani pada bentuk patung dan nilai-nilai ilmunya. Sejak abad ke-1 mulai terjadi kontak langsung bangsa India dengan Cina.
 Sekelompok pendeta Buddha mengadakan perjalanan dakwah ke Cina, dan sesudah itu musafir Cina berziarah ke tempat-tempat suci agama Buddha di India. Dalam perjalanan itu, mereka sempat menerjemahkan naskah-naskah India ke dalam bahasa Cina. Bahkan ada ringkasan delapan bab ilmu kedokteran India dalam bahasa Cina. Kontak antara bangsa India dengan Timur Tengah mungkin terjadi sejak awal sebelum bertemu dengan bangsa lain.
 Kemungkinan ini sangat kuat mengingat letak geografis kedua kebudayaan besar ini berdekatan tanpa terbatas kondisi alam tertentu. Sayangnya belum didapati keterangan yang memadai dari sedikit dokumen yang menunjukkan kontak antara keduanya. Hanya terdapat terjemahan naskah India ke dalam bahasa Persi dan catatan musafir Arab-Persi mengenai beberapa aspek kebudayaan India dalam kunjungannya ke tempat tersebut. Naskah India yang dipandang paling tua berupa kesusastraan Weda, ialah kitab suci agama Hindu yang disusun mungkin pada abad ke-6 s.M. Setelah periode Weda disusunlah naskah-naskah kitab suci lain. Selain naskah dengan nilai agama dan filsafat, ada uga naskah lama India yang berisi wiracarita misalnya Mahabarata dan Ramayana serta karya yang berisi ilmu pengetahuan seperti ilmu kedokteran, tatabahasa, hukum, dan politik.
Telaah Filologi terhadap naskah-naskah India baru dilakukan setelah adanya kontak dengan bangsa Barat, yaitu setelah ditemukannya jalan laut ke India. Proses mengenal kubudayaan India bertahap, mulai dari bahasa daerah, bahasa Sansekerta, baru kemudian ditemukan kitab Weda. Sejak itu lah kegiatan filologi terhadap naskah India semakin berkembang dan membuahkan hasil yang sangat berarti seperti berbagai kamus dan tatabahasa Sansekerta .
9. Filologi di Kawasan Nusantara
Nusantara adalah kawasan yang termasuk Asia Tenggara. Seperti kawasan Asia pada umumnya, Nusantara telah memiliki peradaban tinggi dan diwariskan pada generasi selanjutnya melalui berbagai media, salah satunya tulisan berupa naskah. Kawasan Nusantara terbagi dalam berbagai etnis dengan ciri khas masing-masing tanpa meninggalkan sifat khas kebudayaan Nusantara.
Keinginan untuk mengkaji naskah-naskah Nusantara hadir setelah ketangan bangsa Barat. Yang pertama menyadari nilai berharga naskah Nusantara adalah pedagang yang ingin mendapat untung dari penjualan naskah tersebut. Datangnya bangsa Barat dan ditulisnya buku tentang kebudayaan Nusantara oleh Frederik de Houtman menimbulkan minat besar bangsa Barat pada Nusantara. Dan walaupun terdapat beragam suku dengan bahasa yang berbeda-beda, namun untuk mendekati bangsa ini langkah pertama yang diperlukan adalah kemampuan bahasa Melayu. Karena kemampuan berbahasa Melayu akan membuka komunikasi dengan pribumi dan bangsa lain yang juga mengunjungi daerah ini.
Selanjutnya pengamatan terhadap bahasa melalui pembacaan naskah dilanjutkan oleh para penginjil yang dikirim dalam jumlah besar oleh VOC. Bahasa Nusantara dipelajari untuk kepentingan tugas penginjil. Hasilnya adalah penelitian dan catatan rapi mengenai kebudayaan bahkan hingga suku yang belum mengenal tulisan. Karena keterbatasan tenaga, awalnya kegiatan filologi hanya sampai pada tahap menyunting. Yaitu menyajikan naskah pada bentuk aslinya ditambahkan keterangan pendahuluan. Pada tahapan selanjutnya, naskah disunting dalam bentuk transliterasi dalam huruf latin. Perkembangan selanjutnya adalah suntungan naskah disertai terjemahannya dalam bahasa asing. Pada abad ke-20 muncul suntingan yang lebih mantab dengan kritik teks disertai terjemahan dalam bahasa Belanda, Inggris, atau Jerman. Juga muncul terbitan ulang dari naskah yang sudah pernah disunting dengan maksud untuk menyempurnakan. Pada saat itu juga banyak terbit naskah-naskah keagamaan baik Melayu maupun Jawa, sehingga dapat dikaji oleh ahli teologi serta selanjutnya menghasilkan karya ilmiah dalam bidang tersebut.

                   Selanjutnya banyak diterbitkan suntingan-suntingan naskah dengan pembahasan isi ditinjau dari berbagai disiplin. Pada periode mutakhir mulai dirintis telaah naskah-naskah Nusantara dengan analisis berdasarkan ilmu sastra barat. Banyak terdapat analisis struktural, fungsi, dan amanat pada naskah-naskah tersebut. Besarnya minat dan kesempatan pada masa-masa selanjutnya mendorong terbitnya kamus bahasa-bahasa Nusantara. Kajian terhadap naskahnya juga membuka kebudayaan Nusantara dan mengangkat nilai-nilai luhur yang tersimpan di dalamnya.

                   Sedangkan dari Indonesia sendiri, tokoh pribumi yang diakui sebagai ahli filologi adalah Husein Djayadiningrat dengan penelitian mengenai sejarah Banten. Sedangkan setelah perang dunia kedua hanya terdapat sedikit ahli filologi dengan sedikit karya yang dihasilkan. Selanjutnya setelah perginya nama-nama besar R.M.Ng. Poerbatjaraka dan Prof. R. Prijana ahli filologi sangat sulit ditemukan.

                   Usaha mencari karya filologi dari bangsa sendiri bisa dibilang sia-sia. Belum dapat ditemukan sumbangan yang berarti dalam bidang filologi dari dua universitas tertua di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Sehingga sumbangan filologi dalam perkembangan kebudayaan nasional pun hampir tak ada. Nusantara seharusnya bersyukur atas peninggalan tertulis dari generasi sebelumnya. Untuk itu diperlukan kajian filologi yang memadai sehingga dapat digunakan untuk mengetahui kebudayaan dan sejarah kehidupan sebelumnya.
  Sebenarnya kajian filologi akan sangat berguna juga karena dapat digunakan dalam bidang ilmu lain. Sayangnya kajian filologi saat ini belum terlihat hasil yang berarti. Bila saja ilmu filologi dilengkapi dengan ilmu social lainnya seperti arkeologi maupun antropologi, tentu akan didapati hasil yang lebih baik.


Sumber: Baried, Siti Baroroh. 1994.Pengantar Teori Filologi.Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas.

Tidak ada komentar: